Baca Juga: Bupati Bangli Temui Menko Luhut, Usul Program Pengembagan Kintamani
Dalam orasinya, Dewa Made juga menyinggung soal cuti melahirkan. Dia menilai masih banyak perusahaan yang mengurangi hak atas upah dan uang jasa pelayanan, termasuk jaminan atas keamanan bagi pekerja perempuan.
"Perusahaan yang mempekerjakan pekerja perempuan antara pukul 23.00 hingga 7.00, serta jam kerja dari pukul 23.00 sampai pukul 5.00 masih banyak yang tidak menyediakan fasilitas antar-jemput bagi pekerja perempuan," ucap Dewa Made.
Selain itu, FSPM juga menyampaikan keprihatinan tentang praktik-praktik penyelenggaraan negara yang semakin mengalami kemunduran.
Baca Juga: Kembangkan Danau Batur, Bupati Sedana Arta Temui Menko Marves Luhut Binsar Panjaitan
Hal tersebut teramati dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja, dengan alasan karena kegentingan yang memaksa akibat geopolitik dan ketidakpastian hukum bagi investor.
Perppu Cipta Kerja yang isinya dinilai tidak jauh berbeda dari UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, dianggap mempermudah alasan PHK dan mempermurah pesangon PHK. Hal ini akan mengancam kehidupan buruh di Indonesia, khususnya di Bali.
"Pasca lahirnya UU Cipta Kerja dan turunannya yang kemudian dihapus dengan dengan Perppu Cipta Kerja justru meningkatkan jumlah pekerja kontrak, alih daya (outsource), pekerja harian lepas (daily worker) dan pekerja magang, serta eksploitasi anak-anak dalam peaktek kerja lapangan (PKL)," kata Dewa Made.
Baca Juga: Hari Perempuan Internasional 2023: Kampanye Kesetaraan Bukan Hanya Memberi Ruang yang Sama
Dalam aksi damai itu, pihak DPRD Bali masih bungkam dan tak mau menemui massa yang berorasi.
Massa kemudian membubarkan diri dan kembali berkumpul di Parkir Timur Lapangan Renon.
Adapun permintaan FSPM kepada DPRD Bali yakni menyampaikan aspirasi buruh di Bali agar presiden segera mencabut Perppu Cipta Kerja.