Puluhan Aparat Polresta Denpasar Amankan Demonstrasi Aliansi Mahasiswa Papua Terkait Isu HAM di Biak  

- 7 Juli 2022, 15:00 WIB
Ilustrasi demonstrasi Aliansi Mahasiswa Papua di Denpasar.
Ilustrasi demonstrasi Aliansi Mahasiswa Papua di Denpasar. /Pixabay/7089643

RINGTIMES BALI – Puluhan aparat Polresta Denpasar mengamankan demonstrasi yang dilakukan oleh Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) dan Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRIWP) pada Rabu, 6 Juli 2022 di kawasan Plaza Renon Hotel terkait kasus pelanggaran HAM di Biak, Papua Barat.

Ketut Sukadi selaku Kepala Seksi Humas Polresta Denpasar menyampaikan peserta aksi demo tersebut dikawal oleh satuan pengamanan Polresta Denpasar, Polsek Denpasar Timur, dan Kapospol Renon di bawah komando Kapolres Kota Denpasar, melalui Kabag Ops Kompol Made Uder.

Ada 90 aparat yang meliputi anggota Polri, TNI, dan Satuan Polisi Pamong Praja yang mengamankan aksi demonstrasi tersebut.

Baca Juga: Dua Wanita Naiki Patung Dewa Ganesha, Niluh Djelantik: Minim Wawasan

Polisi mengatur lalu lintas disekitaran Bundaran Patung I Gusti Ngurah Rai serta jalur disekitar Plaza Hotel Renon.

Wemy Enembe dalam orasinya mengatakan tradegi terhadap warga Papua Barat di Biak pada 2-6 Juli 1998 telah memberikan dampak kepada 230 orang, dimana 8 orang meninggal, 8 orang hilang, 4 orang luka berat, dan dievakuasi ke Makassar, 33 orang ditahan, 150 orang mengalami penyiksaan, dan 32 mayat misterius ditemukan di perairan Papua Nugini, serta sebagian korban belum terdata.

Ia mengatakan sudah 24 tahun berlalu namun tidak ada proses penyelesaian kasus tragedi Biak Berdarah tersebut.

Baca Juga: Antisipasi Wabah PMK, Polsek Kuta Utara Kerahkan Bhabinkamtibmas Lakukan Pendataan Hewan Ternak

Ia meminta agar pelanggaran HAM seperti pembunuhan, pemerkosaan, pengejaran dan penangkapan aktivis Papua Barat, rasialisme, penganiayaan, dan pemenjaraan paksa di Papua Barat harus dihentikan.

Dalam aksi demonstrasi yang menghabiskan waktu selama dua jam tersebut, ia juga mengatakan tragedi HAM setelah Biak Berdarah, seperti Wamena Berdarah pada 2000 dan 2003.

Kemudian Wasyor Berdarah pada 2001, Uncen Berdarah pada 2006, Nabire Berdarah pada 2012, Paniai Berdarah pada 2014, Nduga Berdarah pada 2017 dan 2018, Fak-Fak Berdarah pada 2019, serta peristiwa HAM lainnya belum ditangani.

Baca Juga: Dinas Pariwisata Denpasar Beri Pelatihan Kepada Pengusaha Kuliner di Bali

“Bahkan Otsus (otonomi khusus) sejak 21 November 2001 telah disahkan dan dilanjutkan dengan Otsus jilid II Papua yang disahkan tanggal 30 Juni. Otsus merupakan kebijakan yang merugikan dan meresahkan rakyat Papua Barat,” ucapnya dikutip dari Antara.

Tidak hanya itu, massa juga menolak DOB atau daerah otonomi baru, mendesak pencabutan UU Cipta Kerja atau Omnibus Law, mendesak pembebasan Viktor Yeimo, Alpius Wonda dan seluruh tahanan politik Papua tanpa syarat.

Selain itu mereka juga mengutuk keras tindakan teror, intimidasi serta upaya kriminalisasi aktivis AMP di Bali dan seluruh tanah Papua.***

 

Editor: Muhammad Khusaini


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah