SMA Bali Mandara: Ekslusivitas Pendidikan

- 22 Oktober 2023, 17:54 WIB
Dekan FKIP Universitas Dwijendra, Dr. I Ketut Suar Adnyana, M.Hum.~
Dekan FKIP Universitas Dwijendra, Dr. I Ketut Suar Adnyana, M.Hum.~ /Ringtimes Bali/Pikiran Rakyat Media Network/Dok. Ist.

RINGTIMES BALI - Perubahan SMA Bali Mandara menjadi sekolah reguler yang disamakan statusnya dengan SMA lain masih menyisakan permasalahan bagi beberapa orang.

Isu-isu ini terus dihembuskan dan momennya jelang tahun politik 2024. Ada kepentingan politik untuk mendapatkan simpati masyarakat. Tentu ini bukan tujuan yang Ikhlas dan tanpa pamrih memperjuangkan keberadaan SMA Bali Mandara menjadi sekolah yang ekslusif. Apalagi yang memperjuangkan itu adalah calon DPD Bali. Kita patut mencurigai ada apa dengan pengembalian status ekslusif SMA Bali Mandara.

Kalau kita merunut mengapa SMA Bali Mandara didirikan, tujuan utamanya untuk memberikan pendidikan bagi siswa yang memiliki latar belakang ekonomi kurang mampu. Siswa diasraman. Biaya pendidikan, biaya makan, keperluan pakaian dibiayai oleh pemerintah. Ini merupakan bentuk ekslusivitas pendidikan. Jika alasan pendirian SMA Bali Mandara memberikan kesempatan kepada siswa yang kurang mampu untuk mengenyam pendidikan, mengapa pemerintah kala itu, tidak memberikan perlakukan yang sama kepada siswa yang kurang mampu namun menempuh pembelajaran di SMA regular. Untuk memberikan pendidikan bagi siswa yang berlatar ekonomi kurang, tidak harus membentuk SMA Ekslusif. Ini merupakan bentuk diskriminasi dalam pendidikan.

Pemerintah Provinsi Bali kala itu, terlalu ambisi membangun SMA Bali Mandira. Kalau mau disurvei ke desa-desa yang terpencil di Bali masih banyak sekolah baik dari tingkat sekolah dasar dan menengah memerlukan perhatian Pemerintah Provinsi Bali untuk meningkatkan kualitas  sarana dan prasarana. Apakah sudah semua SMP dan  SMA dalam belajar bahasa (Inggris, Bahasa Indonesia, dan Bahasa Bali) memiliki laboratorium bahasa? Apakah setiap ruang sekolah sudah dilengkapi dengan AC atau kipas angin? Sekolah yang ada di kota saja belum semua dilengkapi sarana dan prasarana pembelajaran yang memadai. Janganlah mengekslusifkan satu sekolah sedangkan sekolah lain sarana dan prasarananya belum memadai.

Baca Juga: Netralitas ASN dan Ketidaknetralan Kepala Daerah

Siswa yang memiliki latar belakang ekonomi  kurang dapat bersekolah di sekolah regular. Pemerintah hendaknya memberikan kemudahan dan bahkan memberikan beasiswa  kepada siswa tersebut. Apalagi dengan diberlakukannya Kurikulum Merdeka, sekolah diwajibkan untuk menerapkan pendidikan inklusi. Inklusi adalah sebuah pendekatan untuk membangun lingkungan yang terbuka untuk siapa saja dengan latar belakang dan kondisi yang berbeda-beda, meliputi: karakteristik, kondisi fisik, kepribadian, status, suku, budaya dan lain sebagainya.

Pola pikir ini selanjutnya berkembang dengan proses masuknya konsep tersebut dalam kurikulum di satuan pendidikan sehingga pendidikan inklusif menjadi sebuah sistem layanan pendidikan yang memberi kesempatan bagi setiap peserta didik untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusi bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa menyatakan bahwa pendidikan inklusif adalah sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam lingkungan pendidikan secara bersamasama dengan peserta didik pada umumnya.

Pendidikan inklusi mensyaratkan keterampilan guru dalam menangani siswa yang memiliki kondisi yang berbeda. Apakah semua guru sudah memiliki metode yang tepat dalam menangani anak yang hiperkatif atau mengalami keterbelakangan mental? Janganlah mengekslusifkan satu sekolah. Ada yang lebih urgen direalisasikan. Guru-guru di sekolah regular belum memiliki keterampilan yang memadai dalam menangani anak yang berkebutuhan khusus (ABK). Setiap sekolah hendaknya ada guru yang ahli menangani ABK. Memberikan pelatihan bagi guru untuk menangani ABK  sangat mendesak. Idealnya satu kelas didampingi oleh dua guru seperti sekolah-sekolah internasional. Adanya dua guru yang mendampingi anak ketika pembelajaran, ABK akan tertangani dengan baik. Mampukah pemerintah mengangkat  guru untuk  melaksanakan pendidikan inklusi serta melaksanakan pembelajaran yang berdiferensiasi ? 

Baca Juga: Politik Insinuasi Jelang Tahun Politik 2024

Halaman:

Editor: Dian Effendi


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah