Potensi Penyalahgunaan Bansos Covid-19 di Bali Tinggi, ICW Nilai Pemda Bali Tidak Transparan

11 September 2020, 14:20 WIB
Potensi Penyalahgunaan Bansos Covid-19 di Bali Tinggi, ICW Nilai Pemda Bali Tidak Transparan /

RINGTIMES BALI - Pemerintah pusat mengalokasikan sebanyak Rp695,2 triliun untuk penanganan Covid-19 di Indonesia, termasuk di Bali. Namun oleh ICW (Indonesian Corruption Watch), Pemprov Bali dinilai tidak transparan, lantaran tidak pernah membuka akses anggaran bansos Covid-19. Padahal hasil temuan ICW bersama mitra di daerah terungkap potensi penyalahgunaan anggaran bansos covid-19 di Bali sangat tinggi.

Untuk diketahui bersama, selain terbatasnya akses informasi anggaran dan penanganan Covid, saat ini Bali juga menghadapi risiko keterbatasan sarana dan prasarana kesehatan.

Dan anggaran dari pusat yang triliunan itu disebut-sebut rinciannya sebagai berikut, sekitar Rp87,55 triliun untuk anggaran kesehatan, anggaran perlindungan sosial Rp203,9 triliun, insentif usaha sebesar Rp120,61 triliun, sebesar Rp123,46 triliun disiapkan untuk sektor UMKM, pembiayaan korporasi menjadi Rp 53,57 triliun, dan untuk dukungan sektoral dan Pemda sebesar Rp 106,11 triliun.

Baca Juga: Saat Positif Covid-19 di Bali Bertambah, Posko Desa Ini Malah Dicabut

Demikian juga Pemprov Bali yang mengalokasikan dari sumber APBD sebanyak Rp756.069.643.295. Dibagi menjadi penanganan kesehatan terkait Covid-19 dengan pagu sebesar Rp274.769.643.295, penanganan dampak Covid-19 terhadap masyarakat dalam bentuk Jaring Pengaman Sosial (JPS) dengan pagu sebesar Rp261.300.000.000, dan penanganan dampak Covid-19 terhadap ekonomi dengan pagu sebesar Rp220.000.000.000.

Data itu tercantum dalam Peraturan Gubernur (Pergub) Bali No. 15 tahun 2020 tentang percepatan penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19).

“Data ini harus dibuka tiap saat agar warga yang berhak mudah mengecek,” ujar Seira Tamara, salah satu pemantau dari alumni Sekolah Antikorupsi (Sakti) Bali.

Baca Juga: Seorang Warga Positif Covid-19 di Tampaksiring, Menikah Tanpa Dihadiri Undangan

Saat ini, jaringan pemantauan bansos dan pengadaan barang dan jasa di Bali telah terbentuk yang terdiri dari BaleBengong, Sakti Bali, AJI Denpasar, dan LBH Bali.

Ni Kadek Vany Primaliraning, dari Direktur LBH Bali menilai perubahan dalam jangka waktu sebulan dari perubahan kedua sampai ketiga ini menunjukkan ketergesaan dan minimnya sosialisasi.

Selain itu, ada dugaan cacat hukum karena distribusi bantuan disebutkan sejak Mei, padahal kedua regulasi disahkan setelah Mei (akhir Juni dan awal Agustus).

Baca Juga: Serapan Dana Bansos Covid-19 di Bali Ratusan Miliar Kemana? Aneh, Produk Pangan Lokal Belum Terserap

Dalam pasal 6 peraturan tersebut disebutkan bahwa pemanfaatan realokasi Anggaran Penerimaan dan Belanja Daerah (APBD) tahun 2020 untuk percepatan penanganan Covid-19 harus berdasarkan prinsip efisien, efektif, transparan, akuntabel, dan kepatutan.

Karena itu warga berhak mendapat informasi setiap saat.

Selain itu, dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik disebutkan bahwa “Badan Publik wajib mengumumkan secara serta-merta suatu informasi yang dapat mengancam hajat hidup orang banyak dan ketertiban umum.”

Baca Juga: Serahkan Bansos di Alumni Akabri 88, Ini Pesan Kapolda Bali Dimasa Pandemi Covid-19

Selain Pergub di atas, ada juga regulasi lain yang perlu mendapat pengawasan.

Yakni Pergub No. 23 tahun 2020 tentang Pemberian Bantuan Jaring Pengaman Sosial kepada Lembaga/Organisasi dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) di Provinsi Bali.

Bentuk dan besaran bantuan yang diberikan kepada lembaga/organisasi ini berupa barang kebutuhan dasar dan disalurkan kepada anggotanya tersebut. Bantuan tersebut hanya diberikan satu kali.

Baca Juga: DPR Singgung Guru Honorer Tak Dapat Bantuan Rp600 Ribu

Bansos ini juga berisiko disalahgunakan di tengah masa Pilkada serentak kali ini, karena itu pemerintah harus memberikan informasi berkala siapa lembaga penerimanya.

Melihat tingginya potensi penyalahgunaan bansos di tengah pandemi, Indonesia Corruption Watch (ICW) bersama 11 mitra di 13 daerah mengadakan pemantauan distribusi bansos dan membuka posko pengaduan.

Daerah-daerah tersebut yaitu Aceh, Medan, Palembang, DKI Jakarta, DI Yogyakarta, Semarang, Bali, Tangerang Selatan, Kota Tangerang, Kabupaten Tangerang, Kendari, Manado, dan Makassar. Meski pemantauan ICW terbatas pada 13 daerah tersebut, aduan warga yang masuk juga berasal dari daerah lain, seperti Jambi, Kuningan, Sumenep, Konawe Utara, Minahasa Utara, dll

Baca Juga: Bantuan Upah Pekerja Rp600 ribu Dilaunching Jokowi Hari Ini, Cek Sudah Ditransfer Bertahap

Hasil pemantauan bantuan sosial di 13 daerah sudah dilaporkan Indonesia Corruption Watch (ICW) pada publik pada 3 September 2020. Pemantauan ini dilakukan seiring penganggaran dana bansos dampak pandemi. Indonesia mengumumkan kasus pertamanya pada 2 Maret 2020.

Almas Sjafrina dari ICW memaparkan, dari hasil pemantauan distribusi bantuan sosial sejak 2 Juni hingga 31 Juni 2020 terdapat 239 temuan dan aduan warga terkait masalah atau dugaan penyalahgunaan bantuan sosial (bansos)

Jenis Masalah dan Dugaan Penyalahgunaan Bansos

Baca Juga: Covid-19, Hancurkan Pariwisata Bali, Tingkat Kunjungan Merosot Hingga 99,97 Persen

No. Jenis Jumlah % :

1 Pemotongan/ pungli 46 19,25%
2 Inclusion error 43 17,99%
3 Bantuan tidak diterima warga 23 9,62%
4 Bantuan ganda 21 8,79%
5 Penyaluran bantuan terlambat 11 4,60%6 Politisasi 9 3,77%
7 Sembako tidak layak 2 0,84%
8 Masalah/ penyalahgunaan lainnya 39 16,32%
9 Non penyalahgunaan 45 18,83%
Jumlah 239 100,00%

Baca Juga: Syukurlah, Pekerja Diberi Kelonggaran Bayar Iuran BPJS Ketenagakerjaan saat Covid-19

Masalah terbanyak yaitu adanya dugaan pemotongan atau pungutan liar (46 kasus), di mana 34% atau 16 kasus di antaranya terjadi di Jakarta. Inclusion error adalah penerima bansos yang tidak sesuai syarat seperti perangkat desa, sudah meninggal, ASN, dan lainnya.

Yoyo Raharyo dari AJI Denpasar menyebut kurangnya transparansi data dan informasi terkait penanganan Covid ini. Padahal media berperan sangat vital.

“Itu informasi yang bisa disediakan tiap saat. Cara kerja jurnalistik hari ini menggunakan investigasi, padahal bisa dilakukan dengan liputan biasa,” keluhnya. Dari sisi pengadaan alat kesehatan susah, misal harga pokok rapid test, bagaimana pengadaannya?***

 

 

Editor: Tri Widiyanti

Tags

Terkini

Terpopuler