Pantang Gunakan Genta untuk Upacara Keagamaan di Buleleng, Diyakini Berakibat Fatal Bila Dilanggar  

- 14 Februari 2022, 21:18 WIB
Pantang gunakan genta untuk upacara keagamaan di Buleleng, berakibat fatal bila dilanggar.
Pantang gunakan genta untuk upacara keagamaan di Buleleng, berakibat fatal bila dilanggar. /Instagram/@clembm13011

RINGTIMES BALI – Genta adalah salah satu sarana yang digunakan dalam mengiri pemujaan dan mantra oleh sulinggih atau pemangku dalam agama Hindu khususnya dalam pelaksanaan upacara Yadnya.

Genta dilihat secara langsung, mirip seperti lonceng yang memiliki suara yang nyaring dan biasanya digerakan secara perlahan oleh pemimpin upacara keagamaan sembari membaca mantram-mantram.

Ada yang menarik dari penggunaan sarana genta atau sering juga disebut Bajra. Ternyata tidak semua wilayah Bali menggunakan sarana upakara tersebut karena suatu hal yang diyakini secara turun temurun.

Baca Juga: BPKPD Buleleng Lakukan 14 Inovasi Tingkatkan Penerimaan Pajak, Salah Satunya Pasang Penagihan Aktif

Sebagaimana yang diketahui oleh masyarakat Hindu, Genta bukan hanya sekedar sarana upakara agama, namun merupakan simbol suci dalam agama Hindu yang tidak dapat terpisahkan dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa.

Dikutip dari akun TikTok @diahteja11, ada satu desa di Buleleng yang tidak menggunakan Genta sebagai sarana upakara mereka.

Tepatnya ada di desa Les, kecamatan Tejakula. Para pemangku di desa Les tidak menggunakan genta untuk mamuput upacara.

Baca Juga: Tak Ada Opsi Kekerasan kepada Warga Wadas, Ganjar Pranowo Minta Kapolda Jawa Tengah Lakukan Evaluasi

Hal tersebut sudah menjadi tradisi secara turun-temurun di desa Les dan sudah berjalan sejak ratusan tahun silam.

Sebagai gantinya, pemangku desa Les menggunakan penyungsung untuk mengiringi upakara yang dilaksanakan.

Klian Adat desa Les menceritakan ada banyak cerita mengenai sejarah alasan desa Les tidak menggunakan sarana Genta untuk memuput upacara keagamaan.

Baca Juga: Kunci Jawaban PAI Kelas 7 Halaman 135, Tabel Contoh Perbuatan dan Keterangan Rukun, Syarat, Sunnah

Dari sejumlah cerita di desa Les yang diketahui, konon ada seorang sulinggih yang mengubah drestha atau tata cara kehidupan kemasyarakatan Hindu.

Beliau sangat sakti, karena dapat menyembuhkan penyakit yang sedang mewabah di masyarakat kala itu.

Disamping itu, Sulinggih tersebut juga sempat mengajarkan ajaran agama Hindu dan menata kehidupan masyarakat.

Baca Juga: Cara Mudah Dapat Obat Covid-19 Gratis saat Isolasi Mandiri di Rumah

Beliau sangat senang dengan desa Les karena masyarakatnya yang lugu. Demikian juga masyarakat, merasa ada yang menuntun terutama tentang ajaran agama Hindu.

Kala itu di desa Les, menjalankan agama Hindu secara tradisi seperti apa yang telah diwariskan para leluhurnya.

Suatu waktu, Ida Pedanda bersama dengan para tetua di desa Les bertanya banyak mengenai tradisi adat atau drestha yang berjalan di desa Les.

Baca Juga: Pendaftaran SNMPTN 2022 Sudah Resmi Dibuka, Berikut Prestasi yang Bisa Kamu Ajukan

Ida Pedanda bertanya terkait masalah pemangku saat muput upacara Yadnya. Para tetua di desa Les mengatakan, jika pemangku di desa ketika memuput upacara Yadnya hanya menggunakan see atau sesapan dalam bahasa Bali.

See tersebut menyampaikan sajen apa yang dibuat, alasan sajen dibuat, ditujukan untuk siapa, serta doa dari pemangku sebagai pemimpin upacara keagamaan yang memohon anugerah keselamatan.

Menurut Ida Pedanda, pegangan para pemangku semestinya memakai Bajra atau Genta sesuai ajaran agama Hindu ketika sedang memuput upacara Yadnya.

Baca Juga: Prakiraan Cuaca Bali 15 Februari 2022, Hujan Disertai Petir dan Angin Kencang di Sebagian Besar Wilayah

Masyarakat yang begitu menghormati kesaktian dan kecerdasan Ida, akhirnya sejak saat itu mulai menggunakan genta sebagai sarana upakara.

Ida Pedanda mengapresiasi atas rasa hormat yang dilakukan oleh masyarakat. Beliau memberikan Bajra dan Siwakarana sebagai simbolis bahwa Ida masih berada di desa Les.

Simbol suci tersebut diletakan dan disimpan dengan baik oleh masyarakat desa di Gedong Pura Geria.

Baca Juga: Download Lagu Bismillah Cinta dari Ungu MP3 MP4, Mudah dan Gratis

Namun, suatu waktu Ida Bhatara Ratu Gede yang berstana di Pura Sanggah Desa Les berpesan kepada sulinggih sakti tersebut agar tidak mengubah drestha yang sudah berjalan sejak lama.

Akibat perubahan itu, masyarakat desa langsung diserang wabah penyakit hingga ada yang sampai meninggal.

Akhirnya, pengurus desa adat memutuskan untuk segera melaksanakan upacara mahayu-ayu dan guru piduka demi memohon keselamatan dan kesembuhan kepada para Dewa Dewi.

Baca Juga: Bupati Badung Serahkan Dana Motivasi Kreativitas Kepada Sekaa Teruna dan Yowana, Masing-masing Rp10 Juta

Karena kejadian tersebut, masyarakat menghentikan penggunaan sarana Bajra atau Genta dalam melaksanakan upacara Yadnya agar musibah tersebut tidak terulang lagi.

Bajra itu kini hanya disimpan di gedong empat Pura, yaitu Pura Jeroan Bale Agung, Pura Dangka, Pura Puseh, dan Pura Sanggah Desa.***

Editor: Muhammad Khusaini


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah