Mengenal Lebih Dalam Tentang Tradisi Makepung di Jembrana

- 11 Juli 2020, 11:40 WIB
 Poto. Lomba Makepung/tradisi Makepung di Kabupaten Jembraba
Poto. Lomba Makepung/tradisi Makepung di Kabupaten Jembraba /

RINGTIMES BALI - Tradisi Makepung (balapan kerbau) di Kabupaten Jembrana, merupakan tradisi yang diwariskan leluhur sejak berpuluh-puluh tahun lamanya.

Tradisi ini lahir dari semangat gotong royong para petani saat masa panen tiba. Dengan semangat kekeluargaan mereka saling berpacu menganggut hasil panen dengan cikar (kereta kayu) yang ditarik sepasang kerbau jantan.

"Jaman nenek moyang kami di Jembrana saat panen padi, mereka gotong royong mengangkut padi dengan Gedebeg atau Cikar atau dalam bahasa Indonesia kereta kayu yang ditarik dua ekor kerbau jantan," tutur Kordinator Makepung Kabupaten Jembrana Made Mare, Sabtu (11/7/2020).

Baca Juga: Rampung 50 Persen, Pembuatan Jalan TMMD Buahan-Kerta Dikebut

Saat mengangkut padi dari sawah untuk dibawa ke rumah itulah tutur Mara, mereka berjalan beriringan dan saling memacu Gedebegnya dengan tujuan saling motifasi semangat gotong royong.

"Dari sanalah kemudian lahir tradisi Makepung yang terus bertahan dan berkembang hingga menjadi maskot di Jembrana," ujar Mara saat ditemui di kediamannya di Desa Melaya, Kecamatan Melaya, Jembrana, Bali.

Jadi menurut Mara, Makepung itu sarat dengan nuansa gotong royong dan kekeluargaan diantara peserta yang melakukannya dengan iklas tanpa memikirkan hasil materi dan justru berkorban biaya yang cukup banyak.

Seiring dengan lerjalanan waktu, tradisi Makepung di Jembrana mulai berinofasi. Makepung mulai dilombakan di sirkuit yang beralaskan tanah. Tentunya ada perbuhan bentuk Gedebeg atau Cikar dari sebelumnya.

Baca Juga: Perkuat Advokasi, SMSI Bali Disarankan tak Rekrut Media Abal-Abal

"Kalau dulu menggunakan Gedebeg besar agar banyak bisa muat padi, diubah bentuk Gedebegnya menjadi lebih kecil dan ringan karena hanya untuk kepentingan lomba. Gedebeg yang sekarang cukup untuk pijakan joki," imbuh Mara yang juga mantan Perbekel Desa Melaya.

Awalnya perlombaan hanya diikuti oleh beberapa kelompok kecil di internal sekaa (kelompok) Makepung. Tidak ada hadiah yang disiapkan, hanya untuk kesenangan dan hobi para pemilik kerbau jantan. Justru mereka rela mengeluarkan biaya yang cukup tinggi.

Baca Juga: Perkuat Advokasi, SMSI Bali Disarankan tak Rekrut Media Abal-Abal

Barulah tradisi Makepung ini dilirik pemerintah daerah untuk dilombakan dan menjadi agenda tahunan. Maka kemudian terbentuklah Makepung Bupati Jembrana Cup dengan memperebutkan tropi dan piala bergilir.

"Seingat saya, Bupati Jembrana yang mengawali Makepung Bupati Cup adalah Bapak Ida Bagus Indugosa. Tapi saya lupa tahunnya," ujar Mara penuh semangat.

Baca Juga: Mimih Dewa Ratu, Bali Catat 86 Kasus Baru, Total Positif Capai 2.110

Sukses mengelar Makepung Bupati Jembrana Cup yang mampu menyedot banyak wisatawan lokal dan mancanegara, ajang pacuan kerbau ala Jembrana ini mulai ditingkatkan menjadi Makepung Gubernur Cup. Diprakarsai oleh Gumernur Bali Ida Bagus Mantra saat menjabat tahun 1978 hingga 1988.

Dari menjadi agenda tetap tahunan, baik itu Bupati Cup maupun Gubernur Cup. Tradisi Makepung di Jembrana mengalami kemajuan yang sangat pesat. Bahkan telah mendunia. Sejumlah negara di dunia mengakui tradisi Makepung ini milik masyarakat Jembrana.

"Sejak mendapat perhatian serius dari pemerintah kabupaten, provinsi dan bahkan pusat, perkembangan sangat pesat. Anggota terus bertambah, sehingga Makepung dibagi menjadi dua blok atau kelompok, yakni blok Ijo Gading Timur dan Ijo Gading Barat," lanjut Mara.

Baca Juga: Ini Update Perkembangan Covid-19 Kota Denpasar

Namun sayangnya menurut Mara, Makepung Gubernur Cup sempat vakum hingga 10 tahun lamanya. Kebijakan untuk meniadakan Makepung Gubernur Cup saat Made Mangku Pastika menjabat sebagai Gubernur Bali.

Namun Sekaa Makepung masih bisa bernafas untuk mempertahankan tradisi karena Makepung Bupati Jembrana Cup masih tetap berjalan.

Barulah Makepung Gubernur Cup diaktifkan kembali saat Wayan Koster menjabat sebagai Gubernur Bali. Tradisi Makepung di Jembrana mulai bangkit dan manpu menyedot ribuan wisatawan lokal dan manca negara di setiap perlombaan.

Baca Juga: Binatu RSUP Sanglah Berinovasi Buat Masker Bersifat Daun Talas

Seiring dengan bantuan pemerintah daerah, provinsi dan pusat, tradisi Makepung ini berjaya membawa Jembrana dikenal di berbagai belahan dunia.

Kini di Jembrana pemerintah telah membuatkan 5 sirkuit Makepung. Terbagi 2 sirkuit di blok Ijo Gading Barat, yakni di Desa Kalkakah, Kecamatan Negara dan Desa Tuwed, Kecamatan Negara.

Kemudian 3 sirkit di Blok Ijo Gading Timur, yakni di Desa Delod Berawah, Kecamatan Mendoyo dan di Mertasari, Kelurahan Loloan Timur dan Desa Sangkaragung, Kecamatan Jembrana.

Baca Juga: Gugus Tugas Perluas Tracking, Positif Covid 19 Bertambah Satu di Jembrana

"Agar dunia tahu, agenda Makepung Gubernur Cup tiap tahunnya digelar pada bulan Juli. Sedangkan Bupati Cup digelar bulan Agustus tiap tahunya," imbuh Mara yang juga pengusaha kayu lokal ini.

Khusus tahun ini lanjut Mara, agenda Makepung Bupati Cup dan Gubernur Cup ditiadakan lantaran adanya pandemi covid 19. Mudah-mudahan pandemi ini cepat teratasi, sehingga Makepung kembali bisa dilaksanakan.

Kepakuman Makepung di Jembrana karena pandemi covid 19, menurut Mare diisi dengan kegiatan perawatan kerbau pacuan oleh masing-masing pemilik untuk mempersiapkan pada lomba Makepung tahun berikutnya setelah covid 19 berlalu.

Baca Juga: Korban Kebakaran di Lelateng Ditengok Bupati Jembrana

"Tapi kadang juga para sekaa (kelompok) Makepung mengisi kepakuman dengan kegiatan latihan di sirkuit atau di pesisir pantai. Ini dilakukan untuk mempertahankan tradisi dan mengjindari kejenuhan," terang Mara.

Berbicara mengenai perlombaan Makepung, peserta yang ikut sama sekali tidak memikirkan hadiah atau imbalan. Melainkan hanya didasari semangat mempertahankan tradisi lelurur dengan semangat gotong royong dan persaudaran.

Jika dilihat dari hadiah setiap perlombaan, baik Bupati Cup maupun Gubernur Cup tidaklah sebanding dengan biaya yang dikeluarkan masing-masing peserta.

Baca Juga: Astaga, Ternyata Masih Ada Siswa di Bali yang Tercecer

Menurut Mara, biaya perawatan sepasang kerbau pacuan hingga sampai saat perlombaan bisa mencapai Rp 30 hingga Rp 40 juta untuk satu pasang kerbau, mulai dari biaya pakan, perawatan tubuh hingga perawatan kebugaran.

Namun untuk hadiahnya berupa piala bergilir dan tropi serta uang pembinaan. Itupun hadiah menjadi milik bersama (blok barat atau blok timur). Sejatinya bukan hadiah yang utama, tapi upaya mempertahankan dan mengembangkan tradisi dengan semangat gotong royong yang melandasi para sekaa Makepung.

"Jika perlombaan sudah tiba, semua peserta semangat mengikuti lomba. Tidak perduli berapa besar biaya yang telah mereka keluarkan. Yang penting hobi dan tradisi tetap terjaga," jelanya.

Baca Juga: Astaga, Ternyata Masih Ada Siswa di Bali yang Tercecer

Dalam menekuni tradisi Makepung ini menurut Mara, perlu ketelitian dalam memilih kerbau jantan. Tentunya tidak sembarang kerbau jantan bisa digunakan untuk lomba Makepung. Melainkan kerbau pilihan yang memiliki ciri khusus.

Menurut Mara, beberapa hal yang perlu diperhatikan jika ingin membeli kerbau untuk perlombaan. Diantaranya, kulitnya agak lemas dan tipis, badannya agak ramping, mulut kerbau yang bagus dan tanduk yang bagus. Kreteria ini wajib terpenuhi.

Kerbau jantan yang memenuhi kreteria ini, mulai bisa dilatih saat usia 1 tahun dan bisa dipakai lomba hingga umur 15 tahun. Harga kerbau untuk Makepung juga sangat pantasi, yakni berkisar antara Rp 100 juta hingga Rp 150 juta sepasang.

Baca Juga: Patut Diapresiasi, Desa Mendoyo Dangin Tukad Sulap Sungai Mati Jadi Wahana Rekreasi

Kerbau pacuan yang kerap dilombakan menurut Mara, juga memerlukan perawatan khusus, mulai dari pakan dan perlakukan terhadap kerbau itu sendiri. Pakan haruslah rumput segar dan wajib sering memberikan batang jagung untuk pakannya. Seminggu sekali juga diberikan jamu tradisional untuk kebugaran.

"Mandi dua kali sehari dan rajin menggosok kulit kerbau dengan sabun. Serta digembalakan secara berkala dan tidak menemlatkan kerbau di terik matahari atau suhu panas. Makannya juga dua kali sehari atau bisa juga tiga kali sehari," kata Mara.

Dalam tradisi dan lomba Makepung menurut Mara tentunya menemui kendala untuk memperkenalkannya ke seluruh dunia. Kendala tersebut justru datangnya dari negara-negara luar yang dikenal rakyatnya penyayang binatang.

Baca Juga: Kena Batunya, Pelaku Mesum Sesama Jenis di Beji Diberikan Sanksi Adat

"Ada pradikma dikalangan mereka kalau Makepung di Jembrana itu identik dengan penyiksaan binatang, sehingga mereka tidak mau datang melihat bahkan mengecan," ujar Mara.

Mereka yang beranggapan seperti itu perlu diberikan pemahaman yang utuh tentang Makepung, mulai dari sejarah lahirnya Makepung hingga pemeriharaan, perawatan dan lerlakukan terhadap kerbau.

"Kerbau pacuan kita perlakukan sangat istimewa. Perawatanyapun khusus. Intinya kita sangat menyayangi kerbau itu," katanya.

Baca Juga: Pol PP Amankan Satu ODGJ, Jembrana Bersih Kasus Pemasungan

Meskipun saat lomba kerbau-kerbau tersebut dipukul dengan cemeti terbuat dari rotan berisi paku kecil untuk memoercepat larinya, setelah itu kerbau dibandikan di kaut agar luka-lukanya langsung kering dan sembuh. Setelah itu kembali diperlakukan istimewa.

"Ada yang mengusulkan menganti cemeti rotan berisi paku dengan cemeti biasa seperti yang digunakan petani saat membajak sawah. Namun pernah dicoba tapi tidak bisa diterapkan karena semangat berpacu agak berkurang. Yakinlah itu bukan bentuk penyiksaan binatang. Mereka perlu diberikan pemahaman secara utuh tentang Makepung," tutup Mara.***

Editor: I Dewa Putu Darmada


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x