Fakta Tradisi Pemberian Nama Anak di Bali

20 Agustus 2020, 08:15 WIB
Ilustrasi anak Bali./*pixabay /

RINGTIMES BALI - Tradisi penamaan di kalangan suku Bali merupakan suatu budaya yang
unik, karena berkaitan dengan jenis kelamin, urutan kelahiran, atau status kebangsawanan
(kasta).

Dengan penamaan yang khas ini, masyarakat Bali dapat dengan mengetahui kasta dan urutan kelahiran seseorang. Penerapan tradisi ini bukanlah hal yang mutlak, mengingat bahwa tidak semua orang Bali mengikuti sistem penamaan ini.

Tidak jelas sejak kapan tradisi pemberian nama depan ini mulai ada di Bali. Menurut pakar linguistik dari Universitas Udayana, Prof. Dr., hal itu telah menjadi tradisi di Bali, dan hingga akhir abad ke-20, masyarakat Bali pun masih menggunakannya.

Baca Juga: Serdik Nengah Sadiarta: Kondisi Ideal Pemberdayaan Satgas CTOC dalam Berantas Narkoba

Beberapa hal yang mendasari pemberian nama dalam tradisi orang Bali diantaranya :

1. Kasta
Sistem kasta itu pun masih dipertahankan dalam tradisi penamaan orang Bali. Orang-orang
dari kasta selain sudra memiliki gelar kebangsawanan yang mengindikasikan kasta keluarga
mereka, dan gelar ini diwariskan turun temurun sekadar pengingat keistimewaan leluhur,
meskipun mereka tidak lagi menjabat profesi sesuai kasta mereka dalam masyarakat.

A. Keturunan dari kasta brahmana biasanya diawali dengan gelar Ida Bagus untuk
laki-laki, dan Ida Ayu (disingkat Dayu) untuk perempuan. Pada masa lalu, kasta
brahmana adalah golongan rohaniwan atau pemuka agama, yaitu
pendeta, pedanda, beserta keluarganya.

Baca Juga: KPU Jembrana Buka Layanan Help Desk Pencalonan Pilkada 2020

Mereka tinggal di suatu kompleks hunian yang disebut griya, diwariskan berdasarkan garis keturunan leluhur mereka pada masa lalu.

Sekarang, tidak semua keturunan brahmana berprofesi sebagai pemuka agama. Mereka sudah masuk ke dalam berbagai lapangan pekerjaan dan tidak semua keturunannya masih menetap di griya.

B. Keturunan dari kasta kesatria biasanya diawali dengan gelar Anak Agung (disingkat Gung), Cokorda (disingkat Cok), Desak atau Gusti.

Baca Juga: Lomba Puisi Virtual RSUP Sanglah, Ini 3 Pemenang Versi Juri dan Like YouTube

Mereka umumnya keturunan raja dan tinggal di puri atau sekitar puri, yaitu kediaman
leluhur mereka (bangsawan Bali) yang memerintah atau mengabdi pada masa lalu.

Bagaimanapun, ada sebagian golongan kesatria yang tinggal di luar puri. Dalam
kasta ini juga ada yang menggunakan gelar Dewa, atau Dewa Ayu untuk
perempuan. Umumnya mereka adalah keturunan pejabat puri pada masa lalu.

Pada mulanya, kasta kesatria merupakan orang-orang dengan profesi di bidang pemerintahan, baik sebagai raja, menteri, pejabat militer, bupati, maupun abdi keraton. Saat ini, keturunan kasta kesatria bekerja dalam berbagai macam profesi
dan jabatan.

Baca Juga: Gubernur Bali Komentari Kasus 'Kacung' IDI, Sindir Jerinx : Jadi Orang 'Gentle' Aja, Ditahan Takut

C. Keturunan kasta Waisya biasanya diawali dengan gelar Ngakan, Kompyang, Sang
atau Si. Pada masa lalu, orang dari kasta ini bekerja di bidang niaga dan industri.
Kini, sebagian keturunan waisya tidak lagi menggunakan nama depannya, terkait
banyaknya asimilasi kelompok ini dengan kaum sudra pada masa lalu. Di samping
itu, sekarang keturunan waisya tidak lagi mendominasi bidang niaga dan industri,

Sebagaimana profesi leluhur mereka pada masa lalu. Mereka kini bekerja di
berbagai bidang.

D. Keturunan kasta sudra dicirikan dengan nama tanpa gelar kebangsawanan
sebagaimana tersebut di atas, melainkan langsung mengacu pada urutan kelahiran
sesuai tradisi Bali, seperti: Wayan, Putu, Gede, Made, Kadek, Nengah, Nyoman, Komang, dan Ketut.

Baca Juga: Belum Jelas Dapat Rekomendasi, Giri Prasta Tetap Optimis

Pada masa lampau, golongan sudra terdiri dari buruh dan petani. Kini, golongan
sudra sudah bekerja di berbagai profesi, mulai dari pejabat negara hingga buruh
kasar.

2. Jenis Kelamin

Orang Bali mengenal tradisi pemberian imbuhan nama untuk mencirikan jenis kelamin, yaitu
awalan : untuk nama anak laki-laki, dan awalan Ni untuk nama anak perempuan. Contoh: I Gede…, Ni Made…, I Dewa…, Ni Nyoman…, dsb.

Bentuk honorifik dari: Ida, digunakan untuk keturunan bangsawan, misalnya: Ida Cokorda. Pada beberapa nama untuk orang berkasta sudra (rakyat jelata), ada yang cocok ditambahkan Luh untuk mengindikasikan perempuan (luh berarti perempuan; dalam bahasa Bali), contoh: Luh Gede…, Luh Made…, Luh Nyoman…, dsb.

Untuk kasta selain sudra, mereka menggunakan kata Ayu (ayu berarti jelita dalam bahasa Bali) daripada Luh contoh: I Gusti Ayu…, Dewa Ayu…, Sang Ayu…, dsb.

Baca Juga: Kader Ricuh, Musda DPD Golkar Jembrana Terpaksa Ditunda

Bagaimanapun, kata Ayu juga dapat diterapkan untuk kasta sudra, misalnya: Made Ayu…,
Putu Ayu…, Komang Ayu…, dsb. Untuk kasta selain sudra, biasanya mereka juga sering
menambahkan kata Istri sebagai padanan kata Ayu (istri berarti wanita dalam bahasa
Bali), contoh: Cokorda Istri…, Anak Agung Istri.

3. Urutan Kelahiran

Orang Bali menggunakan tata cara penamaan yang mencirikan urutan kelahiran anak. Hal ini
menjadi ciri khas kebudayaan suku Bali yang tak dikenal di tempat lainnya.

Baca Juga: Polda Bali Tolak Surat Penangguhan Penahanan JRX SID 

A. Anak pertama diberi nama depan Wayan, berasal dari kata wayahan yang artinya lebih tua. Selain Wayan, nama depan untuk anak pertama juga sering digunakan adalah Putu dan Gede.

Kata putu artinya cucu, sedangkan gede artinya besar. Nama Gede cenderung digunakan kepada anak laki-laki saja, sementara untuk anak perempuan jarang digunakan.

Untuk anak perempuan, ditambahkan kata Luh pada nama Gede. Pada umumnya, keturunan bangsawan Bali cenderung tidak menggunakan kata Wayan maupun Gede. Mereka lebih memilih menggunakan nama Putu.

Baca Juga: Diskusi Merah Putih, IHGMA Dukung Indonesia Maju

B. Anak kedua diberi nama depan Made (madé), berasal dari kata madya yang berarti tengah. Di beberapa daerah di Bali, anak kedua juga dapat diberi nama depan Nengah yang juga diambil dari kata tengah.

Ada pula nama Kade atau Kadek, bentuk variasi dari Made. Ada hipotesis bahwa Kade atau
Kadek berasal dari kata adi yang bermakna adik.

Pada umumnya, keturunan bangsawan Bali cenderung tidak menggunakan nama Nengah maupun Kadek. Mereka lebih memilih menggunakan kata Made atau Kade.

Baca Juga: Kembangkan Kawasan Tukad Mati, Begini Tanggapan Bupati Badung

C. Anak ketiga diberi nama depan Nyoman atau Komang. Nama Nyoman ditenggarai
berasal dari kata anom yang berarti muda atau kecil bentuk variasinya adalah
nama Komang.

Ada hipotesis bahwa nama Nyoman diambil dari kata nyeman (artinya lebih tawar dalam bahasa Bali), mengacu kepada perumpamaan tentang lapisan terakhir pohon pisang—sebelum kulit terluar—yang rasanya cukup tawar.

Ada pula dugaan bahwa nama Nyoman dan Komang secara etimologi berasal dari kata uman yang berarti sisa atau akhir dalam bahasa Bali.

Baca Juga: Bupati Badung Apresiasi Kinerja Pers Bali

D. Anak keempat diberi nama depan Ketut, berasal dari kata ketuwut yang bermakna mengikuti atau membuntuti. Ada juga yang mengkaitkan dengan kata kuno ketut yang berarti sebuah pisang kecil di ujung terluar dari sesisir pisang.

Sistem penamaan berdasarkan urutan kelahiran anak hanya mengenal 4 urutan kelahiran saja. Keluarga yang memiliki anak lebih dari empat orang dapat menggunakan kembali nama-nama depan.

Sekarang sistem kasta di Bali sudah tidak berlaku lagi. Tapi sistem penamaan itu tetap ada,
juga sebagai pengingat tentang nenek moyang masing-masing keluarga.***

Editor: Triwidiyanti Prasetiyo

Tags

Terkini

Terpopuler