Tradisi Mekotek, Kemenangan Taruna Munggu Atas Kerajaan Blambangan

- 16 Januari 2023, 15:04 WIB
Serba-serbi Tradisi Mekotek yang diadakan warga Munggu, Badung, Bali.
Serba-serbi Tradisi Mekotek yang diadakan warga Munggu, Badung, Bali. /I Made Bayu Tjahya Putra/Ringtimes Bali

RINGTIMES BALI - Tradisi mekotek tetap diadakan masyarakat Munggu pada hari Sabtu, 14 Januari 2023 bertepatan dengan Hari Raya Kuningan.

Bendesa adat setempat menjelaskan sejarah asal-usul tradisi itu dilaksanakan. Sebagai warisan leluhur yang sudah ditetapkan menjadi Warisan Budaya tak Benda Indonesia pada tahun 2016.

Bendesa adat Munggu, I Made Rai Sujana mengatakan Tradisi mekotek atau Ngerebeg merupakan kepercayaan masyarakat adat setempat sebagai penolak bala dan memohon keselamatan.

Baca Juga: Pantau Pelaksanaan OPOR Usai KTT G20, Menteri PUPR Tinjau Hutan Mangrove Tahura Ngurah Rai di Denpasar

Hal itu juga terkait dengan wabah besar atau gerubuk agung yang pernah melanda warga desa hingga menyebabkan banyak korban jiwa.

Mekotek juga merupakan momen peringatan bagi masyarakat Munggu bersama pasukan kerajaan Mengwi atas kemenanganya bertempur dengan Kerajaan Blambangan, Banyuwangi.

“Sampai saat ini tradisi mekotek tetap digelar, bahkan saat Covid melanda kami tetap melaksanakanya namun dengan jumlah peserta yang dibatasi,” ungkap Sujana.

Baca Juga: Masyarakat Munggu, Antusias Lestarikan Tradisi Mekotek

Tradisi mekotek menurut sejarah warga setempat sudah berlangsung sejak tahun 1700. Sujana mengatakan tradisi bermula ketika Taruna Munggu yang berhasil membawa pulang kemenangan atas Kerajaan Blambangan disambut baik oleh masyarakat.

Sebagai penghormatan, Raja beserta masyarakat menggelar tradisi itu hingga sekarang. Ia menjelaskan bahwa dahulu perayaan mekotek menggunakan tombak dari besi yang digunakan untuk berperang.

Karena dianggap berbahaya akhirnya tombak tersebut diganti dengan Kayu Pulet yang diperoleh warga dari lahan desa setempat hingga sampai desa tetangga.

Baca Juga: Dialog Parekraf: Sandiaga Uno Dukung Santri Ponpes Manbaul Ulum Bondowoso Jadi Pengusaha

Selain itu, tradisi ini juga sempat mendapat penolakan dari pemerintah Hindia Belanda yang kala itu menguasai wilayah Indonesia, termasuk Bali.

“Dulu Belanda pernah melarang tradisi ini, karena dianggap sebagai wujud perlawanan terhadap pemerintah Belanda,” jelas Sujana.

Ia juga menambahkan bahwa setelah tradisi itu dilarang kemudian warga setempat dihadapkan dengan wabah penyakit hingga mengakibatkan korban jiwa.

Baca Juga: Berkunjung ke Bondowoso, Sandiaga Uno Dukung Pembentukan Wisata Tematik Kopi

Kemudian warga beserta tokoh masyarakat setempat melakukan negosiasi dengan pemerintah Hindia Belanda agar tradisi ini bisa tetap digelar.

Prosesi ritual mekotek itu sendiri menurut Sujana meliputi beberapa rentetan kegiatan. Setiap Kuningan para lelaki dari desa setempat yang berusia dari 12-50 tahun berkumpul mengenakan pakaian adat dengan membawa kayu pulet yang akan digunakan saat mekotek berlangsung.

Kemudian sebelum dimulainya acara, peserta yang akan mengikuti ritual tersebut melakukan persembahyangan bersama di Pura Puseh dan Pura Desa Munggu.

Baca Juga: Dukung Semangat Kebersamaan Warga Adat, Bupati Tabanan Nyaksi Ngenteg Linggih Desa Adat Ngis

Selanjutnya setelah melakukan persembahyangan, peserta yang terdiri dari ribuan orang ini telah menunggu di beberapa titik dan akan berjalan menuju selatan ke Pura Luhur Beten Bingin.

Lanjut dikatakan Sujana, masyarakat kemudian berjalan menuju Pura Dalem untuk melakukan beberapa prosesi.

Setelah itu masyarakat desa kembali menggelar mekotek di persimpangan desa dan pada akhirnya diadakan prosesi Ngerdhi Buana atau berjalan keliling desa.***(I Made Bayu Tjahya Putra/Ringtimes Bali)

Editor: Annisa Fadilla


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah