Makna Perayaan Galungan bagi Umat Hindu

- 28 Februari 2024, 11:25 WIB
Deretan penjor dipasang di depan rumah di sepanjang jalan saat Galungan, sebagai tanda syukur ke hadapan Bhatara Mahadewa, yang memiliki makna terentu dan sebuah sarana Galungan.
Deretan penjor dipasang di depan rumah di sepanjang jalan saat Galungan, sebagai tanda syukur ke hadapan Bhatara Mahadewa, yang memiliki makna terentu dan sebuah sarana Galungan. /Dokumen Ringtimes Bali/Pikiran Rakyat Media Network/Dre

RINGTIMES BALI - Perayaan Hari Raya Galungan diperingati pada hari ini, Rabu (28/2/2024). Kemudian sesudah Hari Raya Galungan akan disusul Hari Raya Kuningan pada 10 hari kemudian, yang bakal diperingati pada Sabtu (9/3/2024).

Galungan yang dirayakan umat Hindu dimaknai sebagai hari kemenangan Dharma (kebenaran) melawan Adharma (kejahatan). Hari Raya Galungan ini jatuh setiap 210 hari atau enam bulan sekali, tepatnya pada Rabu atau Buda Kliwon Dungulan.

Sebelum merayakan Hari Raya Galungan, biasanya umat Hindu di Bali akan menghiasai rumah-rumah mereka dengan penjor. Penjor ini merupakan simbol dari Naga Basuki yang artinya kesejahteraan dan kemakmuran. Selain itu mereka juga melakukan persembahan kepada Sang Hyang Widhi dengan segala manifestasinya.

Menurut Lontar Purana Bali Dwipa, Hari Raya Galungan pertama kali dirayakan pada hari Purnama Kapat (Budha Kliwon Dungulan) di tahun 882 Masehi atau tahun Saka 804. Perayaan Hari Raya Galungan sempat terhenti dan dihidupkan kembali oleh Raja Sri Jayakasunu.

Baca Juga: Sambut Galungan, PLN Himbau Batas Aman Pemasangan Penjor

Sedangkan, dilansir dari laman Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat (PHDI), Hari Raya Galungan kerap dikaitkan dengan kisah peperangan antara Bhatara Indah dengan Mayadenawa.

Bhatara Indah melambangkan dharma (kebenaran) dan Mayanadewa melambangkan adharma (kejahatan). Peperangan ini dimenangkan oleh Bhatara Indah.

Pada saat Budha Kliwon Wuku Dungulan, umat Hindu menghaturkan puja dan puji syukur kehadapan Ida Sanghyang Widhi Wasa atas segala ciptaannya di dunia ini. Secara rohani, manusia mengendalikan hawa nafsu yang mengganggu ketentraman batin. Hawa nafsu tersebut dikenal dengan nama Kalatiga, yakni:

Kala Amangkurat: Nafsu yang selalu ingin berkuasa. Nafsu serakah untuk mempertahankan kekuasaan yang sekalipun menyimpang dari kebenaran.

Halaman:

Editor: Dian Effendi


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x