Peningkatan Kualitas Pendidikan Hendaknya Menjadi Program Prioritas bagi Calon Presiden 2024

- 30 November 2023, 23:34 WIB
Dr. I Ketut Suar Adnyana, M.Hum.
Dr. I Ketut Suar Adnyana, M.Hum. /

RINGTIMES BALI - Kualitas pendidikan merupakan sektor vital untuk menilai kualitas suatu bangsa dan negara. Sektor ini seharusnya menjadi prioritas utama dalam penyusunan APBN. Usaha untuk meningkatkan kualitas pendidikan, kewenangnya tidak hanya menjadi kewenangan pemerintah pusat tetapi kewenangannya dilimpahkan kepada pemerintah daerah.

Hal ini sesuai dengan Pasal 9 Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah yang menyebut bahwa pendidikan menjadi urusan pemerintahan konkuren, yaitu urusan pemerintahan yang dibagi antara pemerintah pusat dan daerah. Itu artinya kewenangan urusan pendidikan tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah pusat, tetapi juga pemerintah daerah. Itu artinya, persoalan pendidikan yang terjadi di daerah dapat diselesaikan melalui pemerintah daerah setempat.

Kewenangan urusan pendidikan yang menjadi tanggung jawab pemerintah daerah meliputi pendidikan anak usia dini, pendidikan nonformal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Dalam lampiran UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah ini ada enam hal yang terbagi kewenangannya di bidang pendidikan.

Keenam hal itu adalah manajemen pendidikan, kurikulum, akreditasi, pendidik dan tenaga kependidikan, perizinan, pendidikan, serta bahasa dan sastra. Khusus untuk akreditasi, kewenangan hanya ada di pemerintah pusat. Usaha untuk meningkatkan kualitas pendidikan, pemerintah pusat telah mengalokasikan dana pendidikan sebesar 20% dari total anggaran khusus untuk pendidikan sejak 2009. Hingga akhir Maret 2023, APBN telah terealisasi sebesar Rp 119,1 triliun sebagai anggaran prioritas untuk pendidikan. Padahal setiap tahun, lebih dari 60 persen anggaran fungsi pendidikan yang mencapai 20 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN) dialokasikan untuk transfer daerah.
Anggaran fungsi pendidikan sebesar itu disalurkan ke pemerintah daerah di seluruh Indonesia yang digunakan untuk kemajuan kualitas pendidikan di daerahnya (diramu dari berbagai sumber).

Namun alokasi dana 20% tersebut belum dapat meningkatkan kualitas pendidikan. Skor PISA Indonesia sejak tahun 2001 tidak mengalami peningkatan yang signifikan. Bahkan di tahun 2018, setelah hampir 1 dekade pemerintah mengalokasikan 20 persen anggaran pendidikan, sekitar 52 persen dari pelajar Indonesia yang menjadi sampel PISA (Programme for International Student Assessment) berada dalam kategori low performer pada ketiga subjek tes (literasi, matematika dan sains), jauh lebih rendah dibandingkan dengan capaian negara-negara tetangga.

Untuk HCI (Human Capital Index), di tahun 2020 skor HCI Indonesia hanya mencapai 0,54. Jauh lebih rendah dibandingkan skor HCI Singapura (0,88), Vietnam (0,69), dan Malaysia (0,61). Fakta ini menandakan perlu peningkatan besarnya anggaran untuk pendidikan. Debat capres yang dimulai bulan Desember 2023, merupakan momen yang baik bagi capres untuk menyampaikan komitmennya guna meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia. Kualitas pendidikan di Indonesia tidaklah merata. Sarana dan prasarana pada satuan pendidikan terutama di daerah Indonesia Timur belum begitu memadai. Kelengkapan sarana dan prasarananya sangat berbeda apabila dibandingkan dengan satuan pendidikan yang berada di wilayah Indonesia bagian Barat.

Masyarakat mengharapkan masing-masing capres mempunyai komitmen untuk peningkatan kualitas pendidikan. Program yang disampaikan harus jelas, sistematis dan realistik. Masyarakat menunggu program yang bersifat rasional dan programnya dapat terlaksana, jika nanti terpilih menjadi presiden.

Tidak dapat dipungkiri carut-marut masalah pendidikan masih ada. Program sekolah gratis hanya diberlakukan bagi siswa yang bersekolah di sekolah negeri. Banyak siswa yang tidak ditampung di sekolah negeri terpaksa bersekolah di sekolah swasta. Padahal banyak dari mereka, memiliki latar belakang ekonomi yang kurang baik. Hal ini merupakan bentuk diskriminasi yang dilakukan oleh pemerintah. Jalur zonasi yang diberlakukan dalam penerimaan peserta didik baru, menyisakan banyak masalah. Karena maraknya siswa titipan dari pejabat dan anggota legislatif, menutup kesempatan bagi siswa yang lain yang lebih berhak.

Sistem pendidikan di perguruan tinggi negeri juga bermasalah. Berkedok sumbangan pengembangan institusi (SPI) menutup akses bagi mahasiswa yang lebih berhak. SPI yang ditetapkan perguruan tinggi nilainya fantastis, membuat beberapa calon mahasiswa harus mengubur cita-citanya berkuliah di fakultas favorit. Hal inilah yang patut dibenahi kepemimpinan berikutnya. Berikan program nyata bagi masyarakat, karena program yang disampaikan dalam beberapa dialog, masih bersifat umum dan sangat normatif.

Halaman:

Editor: Dian Effendi


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah