5 Pertimbangan MUI Terkait Vaksin AstraZeneca, Terbuat dari Babi dan Haram tetapi Mubah Digunakan

20 Maret 2021, 09:15 WIB
Ilustrasi vaksin /Pixabay/Hakan German

RINGTIMES BALI - Baru-baru ini MUI telah menetapkan fatwa terkait hukum penggunaan vaksin Covid-19 AstraZeneca yaitu Fatwa Nomor 14 Tahun 2021.

Majelis Ulama Indonesia mengatakan bahwa vaksin AstraZeneca tersebut haram namun mubah untuk digunakan.

Diketahui bahwa haramnya vaksin AstraZeneca tersebut karena dalam proses pembuatan inang (rumah) virusnya, produsen menggunakan tripsin dari pankreas babi.

Baca Juga: MUI Berikan Izin Penggunaaan Vaksin AstraZeneca Meskipun Mengandung Tripsin dari Babi

Baca Juga: MUI Siapkan Fatwa untuk Aliran Hakekok, Pengikutnya akan Dibina

Dijelaskan bahwa Tripsin yang digunakan bukan sebagai bahan baku utama virus, melainkan bahan untuk memisahkan sel inang virus dengan Micro carier virus. 

Oleh karenanya, Vaksin Covid-19 Produksi AstraZeneca menjadi mubah digunakan karena darurat.

Berdasarkan hal itu, terdapat Lima hal yang menjadi pertimbangan terkait vaksin AstraZeneca mubah digunakan yang disampaikan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Fatwa KH. Asrorun Niam Sholeh, dilansir Ringtimes Bali dari laman MUI.

Baca Juga: MUI Ajak Umat Muslim Boikot Produk Prancis, Ini Deretan Produknya yang Beredar di Indonesia

Baca Juga: MUI Bahas Fatwa Masa Jabatan Presiden 8 Tahun, Novel Bamukmin: Politik Praktis Pendukung Ma’ruf Amin

Baca Juga: Presiden Jokowi Tolak Permintaan MUI 'Cabut' UU Cipta Kerja, Ia Janjikan Ini

1. Dari sisi agama Islam

Apabila dilihat dari sisi agama, penggunaan vaksin AstraZeneca ini merupakan hal mendesak yang temasuk dalam kondisi darurat. 

Sumber-sumber hukum dari Al-Quran, Hadist, Kitab Ulama, maupun kaidah fiqih membolehkan penggunaan (mubah) obat dalam kondisi darurat walaupun hukumnya haram.

2. Keterangan Para ahli yang kompeten dan terpercaya tentang bahaya tidak segera dilakukan vaksin Covid-19

Pertimbangan ini juga diperkuat dengan fakta-fakta di lapangan. 

Beberapa ahli kompeten dan terpercaya yang dihadirkan dalam sidang fatwa MUI, menyebutkan bahwa akan ada risiko fatal jika vaksinasi Covid-19 ini tidak berjalan. 

Disebutkan bahwa jika vaksinasi penduduk kurang dari 70 persen karena ketidakmauan atau kekurangan tersediaan vaksin, maka vaksinasi akan percuma dan kondisi yang lebih berbahaya akan terjadi.

3. Vaksin Sinovac yang halal dan suci tidak mencukupi

Diketahui bahwa vaksin yang sudah terjamin halal dan suci seperti vaksin Covid-19 produksi Sinovac jumlahnya terbatas. 

Indonesia hanya memperoleh jatah sekitar 140 juta vaksin dan yang bisa digunakan hanya 122,5 juta dosis. 

Jumlah tersebut tidak cukup untuk memenuhi syarat herd immunity karena hanya bisa digunakan untuk 28 persen penduduk. 

Dengan demikian, perlu pasokan vaksin lain seperti AstraZeneca untuk memenuhinya.

4. Persaingan memperoleh vaksin sangat ketat

Persaingan untuk memperoleh vaksin di seluruh dunia begitu ketat. Bahkan, seluruh negara berlomba-lomba mendapatkan jatah vaksin tersebut. 

Indonesia baru memperoleh jatah dari Sinovac dan AstraZeneca. Selain itu, Pzifer, Novavac, Sinopharm, dan Moderna memang sudah berkomitmen, namun belum menetapkan jatah vaksin untuk Indonesia.

5. Izin dari BPOM

Disamping itu, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) telah mengeluarkan Emergency Use Authorization (EUA) atau izin edar darurat Vaksin Covid-19 produksi AstraZeneca sejak 22 Februari 2021. 

Izin tersebut menandakan bahwa vaksin ini sudah terjamin keamanan (safety), kualitas (quality), dan kemanjuran (efficacy).

Bersamaan dengan itu, pada Selasa, 16 Maret 2021, MUI juga menetapkan Fatwa Nomor 13 Tahun 2021 tentang Hukum Vaksinasi pada saat Berpuasa.***

Editor: Muhammad Khusaini

Sumber: MUI

Tags

Terkini

Terpopuler