Denda Perceraian dan Iuran Usaha Tinggi, Kebijakan Desa Pakraman Pekutatan Digugat

- 5 September 2020, 14:37 WIB
Bukti kwitansi pembayaran sanksi denda perceraian dan bukti iuran usaha.
Bukti kwitansi pembayaran sanksi denda perceraian dan bukti iuran usaha. /I Dewa Putu Darmada /Tim Ringtimes Bali

RINGTIMES BALI - Keputusan Desa Pakraman Pekutatan, Kecamatan Pekutatan, Jembrana, Bali untuk memungut sanksi denda perceraian bagi warganya dan iuran usaha bagi warga pendatang, ternyata dipermasalahkan oleh salah satu warganya.

Pasalnya, kebijakan tersebut dinilai tidak wajar dan cenderung memberatkan warga, serta tidak memuliki dasar hukum yang jelas. Bahkan warga yang keberatan tersebut mengaku akan melaporkan masalah tersebut kepada pihak kepolisian agar mendapat tindak lanjut.

"Keponakan saya seorang perempuan. Dia menggugat cerai suaminya, malah wajib membayar denda lima juta rupiah. Kata pihak desa pakraman aturan ini berlaku sejak lama. Ini sangat memberatkan," ujar Gede Sumatra, salah seorang warga Pekutatan, Jumat 5 September 2020.

Baca Juga: Kasus Penambahan Covid 19 di Jembrana Kian Mengganas

Padahal menurutnya, setahu dirinya ketentuan besar sanksi denda perceraian tersebut tidak tertuang dalam awig-awig (peraturan) desa Pakraman. Dirinya mengetahui tidak tertuang dalam awig karena pernah menjadi Kelian Adat. Lagi pula menurutnya proses perceraian di adat itu tidak mendapat kepastian hukum dan harus lanjut ke pengadilan.

Menurut Sumatra yang juga pengelola hotel Galuh tersebut sanksi denda Rp 5 juta bagi warga Pekutatan yang bercerai telah berlaku sejak lama dan sudah banyak pasangan cerai yang membayar sanksi denda tersebut.

"Saya punya bukti pembayaran sanksi denda perceraian itu. Kasihan warga sangat dirugikan. Desa Pakraman berdalih sanksi itu agar tidak ada warga cerai," terangnya ditemui di hotel Galuh.

Baca Juga: Ajak Pendukung Mendaftar ke KPU Jembrana, Paket Kembang - Sugik Disambut Tari Hanoman

Selain sanksi denda perceraian yang cukup berat, dia juga mempermasalahkan keputusan Desa Pakraman Pekutatan yang mengenakan pajak (iuran) kepada warga pendatang yang memiliki tanah dan usaha di Desa Pekutatan.

Bahkan menurutnya besar iuran sangat fantastik, berkisar antara Rp 10 juta hingga Rp 25 Juta pertahun. Menurutnya, dasar pungutan tersebut tidak jelas dan tidak ada dalam awig. Sehingga sejumlah pengusaha keberatan.

"Contohnya seperti bukti yang saya pegang. Hotel Puri Djajuma dikenakan dua puluh lima juta rupiah pertahun. Tepati setelah dinego akhirnya membayar lima belas juta rupiah per tahun. Belum lagi hotel-hotel yang lainnya," ujarnya.

Baca Juga: Seorang Warga Positif Covid-19 di Tampaksiring, Menikah Tanpa Dihadiri Undangan

Pungutan kepada warga pendatang yang memiliki tanah dan usaha di Desa Pekutatan telah berlangsung sejak tahun 2017 lalu dan hingga kini masih tetap berjalan. Sementara untuk pajak tanah bagi warga pendatang dikenakan Rp 3000 per arenya.

"Ini pungutan tanpa dasar. Desa Pakraman Pekutatan telah mengeluarkan surat edaran sebelum memungut. Tapi tidak jelas dasar hukumnya," tutupnya.

Terkait hal tersebut, Bendesa Pakraman Pekutatan I Made Ariyasa dikonfirmasi kemarin di Kantor Desa Pekutatan mengatakan, terkait sanksi denda perceraian bagi warganya sudah tertuang dalam awig-awig desa sejak lama.

Baca Juga: Penyebaran Covid-19 di Gianyar Meluas, Dua Puskesmas Kembali Ditutup

"Mengenai besaran sanksi denda itu menyesuaikan dengan situasi perkembangan waktu. Jadi salah kalau disebutkan tidak ada dalam awig, dia sebagai mantan kelian adat seharusnya tahu," tegasnya.

Selama ini menurutnya, ketentuan tersebut tetap diberlakukan dan karena sudah ada dalam awig dan warga yang telah dikenakan sanksi denda perceraian tersebut belum ada yang keberatan. Mengenai besarannya denda biasanya berdasarkan pesuara.

Uang denda tersebut menurut Ariyasa juga telah diatur penggunaannya, yakni untuk manggala yang terlibat proses perceraian termasuk Mangku dan ada yang masuk ke kas Desa Pakraman. Ketentuan ini juga sudah berdasarkan pesuara (musyawarah mufakat).

Baca Juga: ASN Anggota Korpri Denpasar Serahkan Bantuan Beras Bagi Masyarakat Terdampak Covid-19

"Dendanya bukan lima juta rupiah, tapi pihak laki dua juta empat ratus rt ibu rupiah dan pihak perempuan dua juta empat ratus ribu rupiah. Proses perceraian di adat memang harus lanjut ke pengadilan untuk mendapatkan kepastian hukum," tuturnya.

Terkait iuran bagi warga pendatang yang memiliki dan menjalankan usaha di wilayahnya, dia membenatkan. Namun besaran iuran tidak dipatok atau disesuaikan dengan kondisi usaha. Kebijakan ini berdasarkan pesuara (musyawarah mufakat) krama desa.

"Kebijakan itu sejak tahun 2017. Awalnya karena desa pakraman melaksanakan pembangunan Pura, semua pihak telah sepakat," imbuhnya.

Baca Juga: KPPAD Dorong Polisi Segera Proses Pelaporan Kasus Anak

Desa pakraman menurutnya tidak mematok besar iuran atau jumlah tidak wajib, melainkan disesuaikan dengan kondisi usaha dan berdasarkan kesanggupan pihak pengusaha. Contohnya dari target Rp 25 juta per tahun, realisasinya hanya Rp 15 juta pertahun.

"Untuk tahun ini karena masa covid 19, kami tidak munggut. Kami melangkah sesuai dengan ketentuan. Kami tidak berani sembarangan atau gegabah karena nanti bisa berpotensi hukum," tutupnya. ***

 

Editor: Emanuel Oja


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah