Dating Violence, Kekerasan Pacaran yang Berdampak Serius bagi Kesehatan Mental

8 Desember 2021, 21:53 WIB
Ilustrasi Dating Violence, Kekerasan Pacaran yang Berdampak Serius bagi Kesehatan Mental. /Pexels/Vera Arsic

RINGTIMES BALIDating violence merupakan salah satu bentuk kekerasan dalam hubungan antara perempuan dan laki-laki. Dating violence berakibat fatal, korbannya akan tertekan dan mengalami depresi.

Dating Violence (kekerasan dalam berpacaran) adalah pola perilaku yang memaksa dan menyiksa pasangan dengan tujuan mengendalikan pasangannya untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan.

Individu yang berpotensi melakukan dating violence adalah calon pacar, pacar, pasangan, tunangan, gebetan, dan bahkan mantan pacar.

Baca Juga: LISA Suicide Prevention Helpline, Layanan untuk Masyarakat yang Memiliki Masalah Kesehatan Mental

Apakah dating violence hanya terjadi pada perempuan dan pelakunya selalu laki-laki ?

Jawabannya, tidak selalu demikian. Pada beberapa kasus terjadi juga kekerasan yang sebaliknya, yakni dialami oleh laki-laki, dan pelakunya perempuan. Perempuan dan laki-laki memiliki potensi yang sama untuk menjadi korban ataupun pelaku.

Tetapi kasus kekerasan yang banyak terjadi di Indonesia, dominan dialami oleh perempuan dan pelakunya adalah laki-laki.

Baca Juga: 6 Tanda Anda Lelah Secara Mental dan Cara Mengatasinya

Dilansir dari kanal YouTube Mellisa Grace Official dengan judul 'Dating Violence (Kekerasan dalam masa berpacaran)', pada Rabu, 8 Desember 2021.

Dating violence, apakah selalu berupa kekerasan fisik ?. Dating violence, tidak terbatas pada kekerasan fisik, namun juga bisa meliputi penyiksaan secara mental, seksual, emosional, verbal, dan sosial.

Tanda-tanda yang harus dicurigai sebagai dating violence:

Baca Juga: 4 Ciri Orang Tua 'Toxic' yang Dapat Merusak Mental Anak

  1. Pasangan mengecek ‘ruang pribadi’ tanpa izin dan dilakukan berkali-kali, misalnya mengecek handphone, sosmed, dompet, dan lain sebagainya.
  2. Secara terus menerus merendahkan, mengejek, dan membuat bahan lelucon tentang sesuatu yang sebenarnya sensitif untuk diri kita.
  3. Cemburu dan merasa insecure secara berlebihan.
  4. Pasangan berlaku sangat posesif, suka melarang kita melakukan atau tidak melakukan sesuatu atas dasar opini pribadi.
  5. Pasangan tidak lagi menghargai pendapat kita, dan cenderung suka meremehkan opini dan perasaan kita.
  6. Gemar melampiaskan amarah dan emosi-emosi negatif secara meledak-ledak kepada kita secara konsisten dan intens.
  7. Seringkali menggunakan kata-kata kasar untuk merendahkan atribut personal kita, ketika dia sedang melampiaskan kekesalannya.
  8. Mengisolasi diri kita dari keluarga dan teman-teman dekat
  9. Dengan sengaja seringkali membuat tuduhan-tuduhan yang tidak berdasar.
  10. Mengancam kesejahteraan mental ataupun fisik, dengan cara meneror dan menyalahkan kita atas segala perubahan mood yang menimpa kita.
  11. Dengan sengaja sering mempermalukan kita dan tidak menghargai keberadaan kita.
  12. Melakukan kekerasan fisik, seksual, verbal, dan emosional dalam bentuk-bentuk yang lainnya.

Baca Juga: Cara Melawan Mental yang Lemah, Salah Satunya Jangan Pikirkan Omongan Orang Lain

Pola kekerasan dalam dating violence biasanya terjadi dalam urutan atau fase yang khas.

Berikut beberapa fase terjadinya dating violence :

Fase honeymoon

Fase dimana pelaku berperilaku seolah-olah menyenangkan, seperti melayani korban (treat you like a queen), menyayangi secara berlebihan, memberikan perhatian dengan tujuan agar sang target atau korban tidak merasa terancam, merasa percaya, tidak curiga, dan melupakan kekerasan yang mungkin pernah terjadi.

Fase Tension Building

Fase dimana ketegangan mulai meningkat, komunikasi mulai memburuk, korban atau target merasa takut, dan merasa harus menyenangkan atau mengikuti kemauan pelaku.

Baca Juga: 4 Cara Memiliki Mental Kuat untuk Bertahan Hidup, Nomor 4 Paling Sulit Dilakukan

Fase Incident

Fase kejadian atau terjadinya kekerasan fisik, emosional, seksual, verbal, dan finansial. Hal tersebut terjadi ketika pelaku mulai marah dan meluapkan emosinya kepada korban. Pelaku juga akan menyalahkan, mengancam, dan mengintimidasi korban.

Fase Rekonsiliasi

Fase ketika pelaku meminta maaf, memberikan alasan-alasan, lalu  menyalahkan korban, dan menyangkal perbuatannya atau mengecilkan dampak dari perilaku kekerasan yang telah diperbuat.

Lalu kembali lagi ke fase honeymoon, begitu seterusnya.

Kabar buruknya lagi, pernikahan tidak bisa mengubah karakter seseorang yang suka melakukan tindakan kekerasan. Seorang individu dapat mengubah karakternya sendiri, dengan catatan jika dan hanya jika yang bersangkutan menginginkannya.

Baca Juga: 5 Tanda Gangguan Mental pada Wanita, Salah Satunya Ingin Bunuh Diri

Orang-orang yang sering melakukan kekerasan pada saat berpacaran, biasanya justru akan meningkat eskalasi dan intensitasnya pada saat menikah.

Berpacaran adalah proses mengenal pribadi masing-masing, pada masa berpacaran masing-masing individu seyogyanya banyak bertanya pada diri sendiri mengenai ‘seperti inikah pasangan yang saya inginkan untuk menemani saya di kehidupan yang mendatang ?’.

Jika jawabannya tidak atau ragu-ragu, maka sebaiknya tidak perlu memaksakan diri untuk terus melanjutkan hubungan tersebut.

“Cinta tidak menyakiti, tidak menyiksa, tetapi orang-orang yang kita cintai mungkin melakukannya. Tidak ada satu bentuk hubungan apapun yang layak ditukar dengan kesehatan mental”, tertanda Mellisa Grace.***  

 

Editor: Muhammad Khusaini

Tags

Terkini

Terpopuler