Benarkah UMR Jogja Rendah Tapi Rakyatnya Bahagia? Simak Faktanya!

7 Februari 2023, 19:06 WIB
Ilustrasi. Jogja dengan daerah populer di Indonesia dengan upah minimum atau UMR pekerja paling rendah. /Eko Hariyono/Getty Images/iStockphoto

RINGTIMES BALIJika berbicara 5 daerah paling populer di Indonesia, maka Jogja merupakan salah satunya.

Tetapi ironisnya, walaupun Jogja ini populer, romantis dan bersejarah. Ternyata upah minimum atau UMR pekerja di sini termasuk yang paling rendah. 

Selama ini rendahnya UMR di Jogja tersebut tertutupi dengan ilusi biaya hidup di sana yang murah jika dibandingkan dengan biaya hidup di Jakarta yang mahal. 

Dilansir dari Youtube Ferry Irwandi, Selasa, 7 Februari 2023 yang mengungkapkan bahwa di Jakarta itu apa-apa mahal dan sangat terasa ketika mengeluarkan duit jika dibandingkan dengan di Jogja.

Baca Juga: Penjelasan BPBD Terkait Kondisi Pasca Bencana, Simak Penyebab Gempa Banten 5,2 M Menurut BMKG

Karena membahas masalah UMP atau UMK yang populer dengan sebutan UMR di Jogja bukan hal simple.

Dia memutuskan untuk pergi ke jogja untuk mencari tahu penyebab mengapa UMR begitu rendah. Apakah benar dengan biaya hidup yang sangat murah dan apa dampak setelahnya.

Dia mengakui kalau kalau makanan di Jogja luar biasa murah apalagi jika dibandingkan dengan Jakarta.

“Kereta yang murah, becak motor yang seikhlasnya, makanan yang sangat terjangkau gua jadi mulai memahami dari mana ilusi ini terbentuk," kata Ferry Irwandi.

"Tidak heran banyak pendapat yang bilang UMR Jogja nggak perlu tinggi-tinggi karena biaya hidup di sini sudah sangat murah dan kota ini sudah sangat nyaman dan ini adalah masalah yang besar kawan-kawan,” sambungnya.

Ia menuturkan kembali bahwa hal tersebut tidak sepatutnya dibenarkan karena kebutuhan manusia untuk menunjang hidup bukan terbatas hanya soal hidangan.

Baca Juga: Ramalan Zodiak Cancer, Leo, dan Virgo Seminggu Kedepan: Ada Kesempatan Bertemu Orang-orang Baru

Nasi yang dimakan memang jauh lebih murah, harga kosan memang jauh lebih terjangkau. Tetapi, harga rumah di sini sangat mahal ketiga di Indonesia setelah Jakarta dan Bali.

Harga rokok sama saja dengan Jakarta, harga motor,  harga mobil, harga handphone dan banyak barang lainnya tidak memiliki diferensiasi yang berarti.

Apa yang dinamakan biaya hidup murah tentu tidak bisa disederhanakan hanya dengan berpatok pada harga es teh manis dan nasi kucing.

Jika dibandingkan dengan Semarang yang biaya hidup dan kondisi yang relatif mirip dengan Jogja dengan transportasi publik yang lebih terkoneksi bisa memiliki UMR lebih dari Rp3 juta sedangkan UMR Jogja sekarang hanya berkisar Rp2,1 juta.

Bila dibandingkan dengan Jakarta menggunakan survei terakhir BPS pada tahun 2018, menurut survei pengeluaran per kapita nominal tahunan di Jogja sebesar Rp32.724.000 sedangkan di Jakarta berkisar Rp53.592.000.

Sementara UMR Jogja 1,7 dan UMR Jakarta 3,6 di tahun itu.  Dengan demikian, ketika UMR Jogja hanya 47 persen dari UMR Jakarta, biaya hidup di Jogja sudah mencapai 61 persen biaya hidup di Jakarta.

Terdapat selisih 14 persen lebih besar biaya hidup dibandingkan dengan UMR. Artinya penghasilan tidak bisa mencukupi biaya hidup di Jogja.  

Dampak negatif yang timbul dari rendahnya UMR ini tentu akan merugikan masyarakat Jogja itu sendiri dan akan dirasakan dalam jangka panjang kalau terus menerus dibiarkan.

Baca Juga: Cuaca Ekstrem Landa Bali, Sebuah Rumah di Denpasar Roboh

Para pekerja yang berkarir di Jogja harus mengubur impiannya dalam-dalam untuk memiliki hunian di kota karena penghasilannya mereka miliki tidak akan cukup membeli rumah walaupun dengan mekanisme KPR, kecuali mendapat warisan dari orang tua.

Lantas siapa yang memiliki rumah nantinya adalah mereka yang mengadu nasib di kota lain dan menghabiskan masa pensiunnya di Jogja.

Mengapa UMR Jogja murah bukanlah pertanyaan yang bisa dijawab dengan sederhana.

“Ada yang mengatakan UMR Jogja di bawah murah karena political will supaya jadi daya tarik agar investor masuk industri masuk,” tutur Ferry Irwandi.  

Tetapi nyatanya tidak, perusahaan-perusahaan lebih tertarik berinvestasi di Jawa Barat Jawa Tengah dan Jawa Timur yang bahkan punya upah minimum yang jauh lebih tinggi.

Pendapatan Jogja dari sektor manufaktur hanya berkisar 12% tentu ini hal yang sangat minim. Kenapa Jogja tidak menarik untuk industri manufaktur adalah karena harga tanah yang mahal dan ketersediaan lahan yang kurang.

Selain itu beberapa Regulasi Kesultanan juga membuat pengusaha tidak melihat Jogja sebagai opsi melakukan investasi terkait dengan klaim tanah yang menyebabkan ketidakpastian regulasi dan hal lain yang membuat banyak pabrik dan investor lebih melihat daerah lain.

Faktor selanjutnya adalah daya beli masyarakat. Pasar di Jogja itu kompetitif tapi kapitalnya tidak besar karena memang margin untungnya kecil.

Baca Juga: Kartu Prakerja Gelombang 48 Resmi Dibuka, Benefit Rp4,2 Juta, Berikut Cara Daftar dan Syaratnya!

Hal tersebut disebabkan karena untuk memenuhi kebutuhan mahasiswa-mahasiswa di sana yang memang terbiasa dengan harga murah.

Sebagai pengusaha disana pilihannya adalah bertahan atau cabut sekalian. Tetapi akan menguntungkan jika pengusaha punya bisnis dengan target nasional tapi beroperasi di Jogja.

Untuk pengusaha itu akan sangat menguntungkan, tetapi untuk pekerja tidak ada bedanya.

Ditambah lagi kenaikan upah minimum sekarang menggunakan formula yang ditentukan PP 78 tahun 2015, dimana kenaikan UMR seragam sebesar 5 atau 7 persen. Maka dari itu, tidak ada perubahan ranking terhadap UMR Jogja.

Solusi dari masalah ini jelas ada di pemerintah kita, baik pusat maupun daerah harus duduk bareng meluruskan kembali benang-benang kusut ini untuk menemukan pemecahan permasalahan tersebut yang berdampak positif bagi rakyat Jogja. ***

 

 



Editor: Jero Kadek Wahyu Baratha

Tags

Terkini

Terpopuler