Kisah Sarwo Edhie Wibowo Penumpas G30S PKI di Indonesia, Ternyata Pernah Melawan Soekarno

- 29 September 2020, 06:45 WIB
Sarwo Edhie Wibowo
Sarwo Edhie Wibowo /


RINGTIMES BALI -
Sarwo Edhi adalah salah satu pejuang penumpas PKI di Indonesia. Ia memiliki peran yang sangat besar dalam penumpasan Pemberontakan Gerakan 30 September dalam posisinya sebagai panglima RPKAD (atau disebut Kopassus pada saat ini).

Selain itu ia pernah menjabat juga sebagai Ketua BP-7 Pusat, Duta besar Indonesia untuk Korea Selatan serta menjadi Gubernur AKABRI.

Selama Sarwo Edhie menjadi Komandan RPKAD Gerakan 30 September terjadi.

Baca Juga: Kesemrawutan Fakta-Fakta G 30 S PKI, Penculik Kembali ke Lubang Buaya Tanpa Dikenali

Pada 1 Oktober 1965, enam jenderal, termasuk Ahmad Yani diculik dari rumah mereka dan dibawa ke Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma.

Sementara proses penculikan sedang dieksekusi, sekelompok pasukan tak dikenal menduduki Monumen Nasional (Monas), Istana Kepresidenan, Radio Republik Indonesia (RRI), dan gedung telekomunikasi.

Sarwo Edhie juga sempat dikunjungi oleh Brigjen Sabur, Komandan Cakrabirawa. Sabur meminta Sarwo Edhie untuk bergabung dengan Gerakan G30S. Tapi dia menolaknya.

Baca Juga: Sadis, Begini Kronologi Gugurnya Jenderal Ahmad Yani dalam Peristiwa G30S PKI

Waktu itu Sarwo Edhie menjabat sebagai komandan RPKAD (sekarang Kopassus), dan diperintahkan oleh Soeharto sebagai Panglima Kostrad untuk merebut RRI pusat dari tangan PKI.

Saat itu Sarwo Edi mendapat perintah untuk merebut RRI pusat dari tangan PKI. Singkatnya kekuasaan RRI pusat dari tangan PKI berhasil direbut.

Disisi lain, Pangkalan Udara yang menjadi tempat para Jenderal diculik dan dibawa ke basis Angkatan Udara yang telah mendapat dukungan dari gerakan G30S.

Baca Juga: 3 Fakta Ketua Tokoh PKI D.N Aidit Dibongkar Sang Anak, Salah Satunya Pernah Curhat ke Gusdur

Soeharto kemudian memerintahkan Sarwo Edhie untuk merebut kembali Pangkalan Udara. Memulai serangan mereka pada pukul 2 dinihari pada 2 Oktober, Sarwo Edhie dan RPKAD mengambil alih Pangkalan Udara pada pukul 06:00 pagi.

Setelah pangkalan udara Halim berhasil direbut, Sarwo Edhie bergabung dengan Soeharto karena keduanya dipanggil ke Bogor oleh Presiden Soekarno.

Pada tanggal 4 Oktober 1965, pasukan Sarwo Edhie memimpin penggalian dari mayat para jenderal dari sumur Lubang Buaya.

Baca Juga: Sejarah Perjalanan Partai Komunis Indonesia (PKI) di Indonesia

Selain itu, Sarwo Edhie juga diberi tugas untuk melenyapkan anggota PKI di lahan subur komunis di Jawa Tengah.

Hal ini akan mengakibatkan terjadinya pembunuhan massal yang keji pada bulan Oktober-Desember 1965 di Jawa, Bali, dan beberapa bagian dari Sumatra.

Ada banyak perkiraan mengenai jumlah orang yang tewas selama berbulan-bulan.

Baca Juga: Peristiwa Hari Ini, 18 September: Latar Belakang Pemberontakan PKI di Madiun

Akhirnya, pada tahun 1989, sebelum kematiannya, Sarwo Edhie memberi pengakuan kepada anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bahwa 3 juta orang tewas dalam pertumpahan darah ini.

Pada tahun 1966, Sarwo Edhie bersama-sama dengan Kepala Staf Kostrad, Kemal Idris aktif menyelenggarakan dan mendukung protes sementara membuat nama untuk dirinya sendiri di antara para pengunjuk rasa KAMI dalam proses.

Pada 10 Januari 1966, KAMI mengeluarkan tiga tuntutan kepada Soekarno. Mereka ingin PKI harus dilarang, simpatisan PKI dalam Kabinet ditangkap, dan harga-harga harus diturunkan.

Baca Juga: Peristiwa Penting di Tanggal 28 September, PBB Keluarkan Resolusi hingga Gempa 7,4 SR

Pada 26 Februari 1966, KAMI secara resmi dilarang oleh Soekarno tetapi dengan dorongan dari Sarwo Edhie dan Kemal mereka masih terus memprotes. Dalam menunjukkan solidaritas dengan mahasiswa, Sarwo Edhie terdaftar di Universitas Indonesia.

Pada 11 Maret 1966, saat rapat kabinet di mana Soeharto tidak hadir, Sarwo Edhie dan pasukannya mengepung Istana Presiden tanpa identifikasi.

Baca Juga: Lihat Merchant Baru ShopeePay Minggu Ini untuk Sambut Gajian

Karena Soekarno takut dirinya akan dievakuasi ke Bogor. Pada hari itu juga ia mentransfer kekuasaan eksekutifnya kepada Soeharto melalui surat yang disebut Supersemar.

Pada tahun 1967, Sarwo Edhie dipindahkan ke Sumatra dan menjadi Panglima Kodam II/Bukit Barisan. Di Sumatra, Sarwo Edhie lanjut melemahkan kekuasaan Soekarno dengan melarang Partai Nasional Indonesia (PNI) di seluruh pulau.***

Editor: Tri Widiyanti


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x