Vanuatu dan Budaya Rasisme, Benarkah telah Mengakar di Dunia?

4 Oktober 2020, 12:47 WIB
Vanuatu dan Rasisme, Benarkah telah Mengakar di Dunia? /pixabay.com/S. Hermann & F. Richter/

RINGTIMES BALI - Vanuatu menjadi topik yang hangat diperbincangkan di Indonesia.

Komentar negatif bahkan cenderung rasisme terhadap negara kecil di Samudra Pasifik ini berdatangan dari Indonesia sejak berlangsungnya Sidang Umum PBB pada Sabtu 26 September 2020 lalu.

Apa masalahnya dan benarkah budaya rasisme telah mengakar di seluruh dunia?

Baca Juga: Pentingnya Menjaga Keamanan Akun ShopeePay, Simak Caranya

Viralnya tuduhan negara kecil Vanuatu terhadap Indonesia saat sidang umum PBB menjadi kontroversi hingga kini. Hingga muncul komentar-komentar berbau rasisme.

Namun saat Diplomat Perutusan Tetap RI (PTRI) New York, Silvany Austin dengan keberaniannya memukul telak perwakilan Vanuatu dalam Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Dalam sidang tersebut diketahui, dia mengatakan bahwa Vanuatu terlalu mencampuri urusan dalam negeri Indonesia terkait tuduhan isu pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Papua.

Baca Juga: Vanuatu Serang Indonesia soal Papua di PBB, Walter Lini: Kami Belum Merdeka, Melanesia Masih Dijajah

Silvany juga mengatakan bahwa Vanuatu bukan perwakilan untuk menyampaikan hak jawab warga Papua atas tuduhan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang dituduhkan pada Indonesia.

Namun kini berbanding terbalik dengan pernyataan Kementerian Luar Negeri.

Melalui Juru Bicara Kemlu Teuku Faizasyah yang meminta untuk tidak menyerang instagram milik Vanuatu. Kemlu tidak merestui adanya serangan bernada rasisme dan tidak proporsional.

Baca Juga: Diserbu Warganet +62, Vanuatu Justru Miliki Destinasi Wisata Unik hingga Jadi Negara Paling Bahagia

"Kalau memang ternyata benar ada serangan netizen yang berlebihan dan tidak proporsional, ada baiknya dihentikan karena bangsa Indonesia bukanlah bangsa yang mempersoalkan perbedaan ras," ujar (Plt.) Juru Bicara Kemlu Teuku Faizasyah belum lama ini.

Faiza lantas mengingatkan bahwa Indonesia sendiri merupakan bangsa yang memiliki beragam ras. "Kita toh terdiri dari banyak suku bangsa dan ras," tegasnya.

Sementara itu, di media sosial twitter suara-suara sumbang dan rasisme soal Vanuatu masih beredar. Atas hal itu, pemerintah Vanuatu sampai mematikan kolom komentar di instagram resminya @Vanuatuisland.

Baca Juga: Diserang Netizen +62, Pemerintah Vanuatu Bingung Matikan Kolom Komentar Instagram

Sementara itu, terkait Vanuatu menuai pro dan kontra bagi warga+62 

Seperti dikutip RINGTIMES BALI dari akun twitter @suaraperanakan yang menulis :

"Masalah rasisme telah mengakar di Indonesia. Semua orang menyadari dan mengetahuinya. Namun, banyak dari kita memilih untuk mengacuhkan atau bahkan membantahnya," demikian tertulis.

Bagaimana menurut anda?

Sesungguhnya rasisme bukan kali ini saja terjadi dan tidak hanya terjadi di bumi Indonesia bahkan seluruh dunia mengalaminya.

Baca Juga: Mengenal Sejarah Vanuatu, Negara yang Serang Indonesia pada Sidang PBB, Dulu Bernama Hebrides Baru

Dikutip RINGTIMES BALI dari theconversation.com, selain rasisme yang terjadi pada negara Vanuatu, kematian tragis Floyd ini telah memicu protes terhadap praktik rasisme dan tindak kekerasan yang dilakukan polisi. Berbagai protes ini mendorong anggota Kongres AS menyusun rancangan undang-undang (RUU) untuk menghentikan penyalahgunaan kekerasan yang dilakukan oleh polisi.

Selain itu, di Inggris dan Belgia, patung-patung para figur pada masa kolonial yang dikenal rasis, dipindahkan. Berbagai film dan acara televisi yang mengandung unsur rasisme juga telah dihentikan penayangannya.

Tak hanya kasus George Floyd rasisme juga terjadi di Australia

Baca Juga: Profil Bob Loughman, Perdana Menteri Vanuatu Ternyata Pernah Menjadi Menteri Pendidikan

Tak hanya Vanuatu dan di AS, studi yang diterbitkan dalam Journal of Australian Indigenous Issues menyebut jika penduduk kulit putih Australia menunjukkan gejala rasisme terhadap penduduk asli nya Aborigin.

Menurut peneliti Universitas Nasional Australia Siddharth Shirodkar, hasilnya menunjukkan bahwa “rata-rata sebagian besar peserta Australia - terlepas dari latar belakang - memiliki bias implisit terhadap Penduduk Asli Australia”.

Sepertiga responden menunjukkan bias implisit yang kuat terhadap orang Aborigin dan Penduduk Kepulauan Selat Torres.

Baca Juga: Vanuatu Tuding Indonesia Langgar HAM di Papua, 'Tampar Balik' di PBB: Jangan Ceramahi Negara Lain

Kelompok yang paling netral adalah suku Aborigin dan Penduduk Kepulauan Selat Torres sendiri, yang menunjukkan sedikit bias terhadap masyarakat Pribumi sehingga "secara statistik mereka tidak bias", kata Shirodkar.

“Bias implisit internal Anda, itulah yang ada di dalam,” katanya. "Anda mungkin atau mungkin tidak bertindak berdasarkan itu."

Shirodkar mengatakan bias implisit itu sendiri bukanlah ukuran rasisme, tetapi berpotensi menjadi penyebab rasisme atau tindakan diskriminatif. Ia mengatakan itu menunjukkan diskriminasi yang dialami oleh masyarakat Aborigin dan Torres Strait Islander tidak imajiner, dan memiliki dasar pada persepsi non-Pribumi Australia.

Baca Juga: 7 Fakta Menarik Negara Vanuatu 'Fitnah' Indonesia, jadi Negara Terindah tapi Kanibal

“Itu bagian sadar, itulah yang bisa menyebabkan terjadinya tindakan diskriminatif,” ujarnya. “Tetapi kenyataannya adalah jika bias bawah sadar Anda tetap tidak disadari dan tidak tertandingi dan Anda tidak mengidentifikasinya, jika Anda bahkan tidak menyadarinya, maka bias tersebut berpotensi membebani semua keputusan Anda dan bagaimana Anda berperilaku,” ucapnya.

Mengatasi pandemi rasisme

Lantas bagaimana mengakhiri rasisme?

Adalah tugas kita baik secara individual maupun kolektif untuk menghentikan rasisme.

Sebuah gagasan yang menentang Eurosentrisme, yang diusulkan oleh seorang antropolog sosial-budaya bernama Franz Boas dapat membantu kita untuk melakukan hal ini.

Baca Juga: Warganet Serang Vanuatu Lewat Media Sosial Instagram, Mereka Sebut Komentar Rasis Terkoordinasi

Ia berpendapat bahwa budaya bukanlah sesuatu yang mutlak. Standar norma suatu budaya tertentu tidak selalu bisa berlaku untuk mengukur budaya lain.

Frans Boas mendorong pemahaman demokratis tentang budaya dan ras yang menghormati perbedaan sehingga tidak ada satu kelompok pun yang dianggap lebih tinggi atau paling unggul dari yang lain.

Pada tingkat individu, dalam mengatasi perspektif rasis dan menghentikan perilaku rasis dapat dimulai dengan cara mengubah pandangan dan jagat pikir kita. Kita harus mulai menetralisir konsep tentang diri dan lian, dan mulai memperlakukan setiap orang secara setara - tanpa peduli apa pun warna kulit mereka.

Baca Juga: Terobsesi Campuri Urusan Indonesia, Vanuatu Selundupkan Benny Wenda dalam Delegasinya

Hal ini juga dapat dimulai dengan berhenti percaya terhadap supremasi kulit putih dan mengakhiri pandangan yang minor terhadap sesama kita yang berkulit gelap, termasuk kasus Vanuatu.

Pada tingkat organisasi dan masyarakat, kita harus bisa menentang ideologi populer kontemporer tentang rasisme ilmiah.

Sebagai contoh, proses penerimaan murid baru di sekolah, berbagai layanan publik, dan perusahaan tidak boleh mendiskriminasi orang berdasarkan ras atau warna kulit mereka.

Organisasi-organisasi juga harus secara aktif mendukung orang-orang dari kelompok yang secara historis pernah tertindas karena diskriminasi berbasis ras dan seringkali tidak terwakilkan dalam berbagai bidang kehidupan publik.

Baca Juga: Setelah di Serang Warganet, Menlu Minta Warganet Berhenti Menyerang Media Sosial Vanuatu

Dalam sektor bisnis, hegemoni politik warna kulit dalam pembuatan berbagai produk mereka juga harus diperbaiki.

Terakhir, pemerintah di seluruh dunia juga harus tetap berupaya dalam mengurangi ketidaksetaraan struktural yang muncul akibat adanya hierarki sosial yang rasis.

Terlepas dari kasus Vanuatu, George Floyd di AS, Belgia, Australia, semoga budaya rasisme segera hilang di seluruh belahan dunia, dan kembali ke diri sendiri, jaga mulut hati pikiran dan perbuatan, mari kita jaga persatuan dan kesatuan kita.***

 

 

 

Editor: Tri Widiyanti

Sumber: The Conversation Ringtimes Bali

Tags

Terkini

Terpopuler