Mengenal Tradisi Ngerebong Asli Kesiman Denpasar Bali Sejak 1937

30 November 2021, 06:10 WIB
Tradisi Ngerebong Asli Kesiman Denpasar Bali Sejak 1937. /Tangkapan layar Youtube/Indrapraja Channel

RINGTIMES BALI – Tradisi Ngerebong selalu diadakan setiap enam bulan sekali atau delapan hari setelah Hari Raya Kuningan pada hari Minggu Redite Pon Wuku Medangsia.

Tradisi unik dari Bali ini adalah salah satu adat istiadat yang masih dipegang dan terus dilestarikan oleh masyarakat Kesiman Denpasar.

Tradisi Ngerebong sendiri sudah dipatenkan sejak tahun 1937, dengan rangkaian adat yang harus dilaksanakan.

Baca Juga: Jelang Hari Raya Galungan, Masyarakat Klungkung Jalankan Tradisi Mepatung

Dimulai dari Ngerebek yang dilaksanakan pada Umanis Galungan, kemudian Pamendakan Agung pada Paing Kuningan dan yang terakhir Ngerebong.

Upacara Ngerebong sendiri tergolong dalam upacara bhuta yadnya atau pacaruan, yang bertujuan untuk mengingatkan umat Hindu memelihara hubungan hubungan manusia dengan Tuhannya, antara manusia dengan sesame umat manusia, dan antara manusia dengan alam lingkungan.

Sebelum dimulainya puncak acara Ngerebong, masyarakat sudah datang dan memenuhi area acara dan akan sembahyang di Pura Pentilan.

Baca Juga: Desa Trunyan dan Tradisi 11 Abad Masyarakat Bali Asli

Area acara dipenuhi dengan beberapa suguhan seperti alunan musik tradisional, bunga-bungaan dalam tempayan cantik, serta penjor-penjor yang menjulang tinggi.

Upacara Pengerebongan dilakukan sejak pagi pada Redite Pon Wuku Medangsia dan upacara tabuh rah.

Tujuannya untuk membangkitkan guna rajah untuk disomia agar patuh dengan arah guna sattwam.

Baca Juga: Magedong-gedongan, Upacara Penyucian Pertama Bayi dalam Ajaran Hindu Bali

Hal ini membuat guna rajah bersifat positif, dan memberi semangat untuk menghadapi gejolak kehidupan.

Kemudian masyarakat mengarak barong menuju Pura Pengerebongan, namun sebelumnya dilakukan penyucian di Pura Musen terlebih dahulu.

Diawali dengan upacara Nyajan dan Nuwur, untuk memohon kekuatan suci Bhatara-Bhatari agar turun melalui pradasar-nya dari para umat melalui para manca dan prasanak pangerob.

Baca Juga: Makna Perayaan Hari Sugihan Jawa dan Sugihan Bali bagi Umat Hindu Menurut Lontar Sundarigama

Kemudian semua Barong dan pepatih keluar dari Kori Agung kemudian mengesahkan keinginan sebanyak tiga kali dengan cara prasavia.

Saat melakukan prasawia para pepatih melakukan ngunying atau yang dipakai ngurek keris tajam mengarahkan, dan dada para pepatih tidak terluka ngurek.

Setelah upacara prasawia semua kembali ke Gedong Agung dengan upacara Pengeluwuran, kemudian dilanjutkan upacara Maider Bhuwana Bhatara-Bhatari.

Baca Juga: 4 Fakta Unik Hari Raya Galungan, Tidak Semua Umat Hindu di Bali Mengetahuinya

Para manca dan prasanak pangerob kembali mengililingi wantilan sebanyak tiga kali dengan cara pradaksina.

Mengelilingi wantilan dengan pradaksina berbeda dari prasawi, dimana dilakukan sesuai dengan arah jarum jam.

Pradaksina dilakukan sebanyak tiga kali sebagai simbol dari pendakian hidup Bhor Loka menuju Bhuwah Loka, dan yang tertinggi Swah Loka yaitu alam kedewatan.

Adanya upacara pradaksina dan prasawia dalam upacara pengerebongan ini memiliki banyak makna dan filosofi.***

Editor: Muhammad Khusaini

Tags

Terkini

Terpopuler