Mengenal Tradisi 'Melayangan' asal Bali

6 Mei 2021, 12:06 WIB
Budaya Melayangan Bali yang tidak dipisahkan dalam masyarakat /Instagram.com/@mahayasa_ace

RINGTIMES BALI – Melayangan merupakan sebuah tradisi Bali yang tidak bisa dipisahkan dalam perjalanan hidup masyarakat.

Melayangan sendiri erat kaitannya dengan Rare Angon, Dewa Layangan yang datang tiap panen raya di sawah berakhir yakni, dimulai sekitar bulan Mei hingga Oktober.

Rare Angon sendiri merupakan seorang Deewa dari manifestasi Dewa Pelebur yakni, Dewa Siwa dengan wujudnya digambarkan sebagai sosok anak gembala yang bersenang-senang ketika musim panen raya telah berakhir.

Baca Juga: Rare Angon, Identik dengan Tradisi 'Melayangan' di Bali

Kali ini, Ringtimesbali.com berkesempatan mewawancarai salah satu anak muda yang sangat gemar 'Melayangan' atau biasa disebut Rare Angon bernama I Gede Varga Danis Wara.

Dirinya mengaku mulai menyukai layangan hingga sejak berusia 7 tahun hingga permasalahan yang sering dihadapi oleh para Rare Angon.

Varga begitu panggilannya, menjelaskan keunikan dari layangan tradisional Bali yang membuatnya gemar Melayangan hingga saat ini.

Baca Juga: 5 Kewajiban Suami pada Istri Menurut Agama Hindu, Salah Satunya Menyerahkan Harta

“Dalam layang-layang tradisional Bali ada namanya gegulak atau sikut (itung-itungan baku dalam membuat layangan Bali), nah dari itungan tersebut kita dapat mendapatkan bentuk layangan yang pas dan mampu diterbangkan," ujarnya.

Dirinya menambahkan bila sejak dahulu hingga sekarang bentuk layangan tradisional Bali tidak pernah berubah.

Contoh gambaran gegulak atau sikut sederhana untuk layangan Bebean dengan ukuran 350cm Dok. I Gede Varga Danis Wara

“Jadi tetap dengan bentuk pakem yang terdahulu cuma paling sedikit dipercantik lagi agar semakin kelihatan estetik di udara. Warna layangan tradisional Bali itu putih, kuning, selem (hitam), dan barak (merah),” jelasnya.

Selain itu, Varga yang merupakan lulusan Antropologi Universitas Udayana itu pun menjelaskan bila gegulak atau sikut merupakan arsitektur layangan yang sudah ada sejak zaman dulu dan tiap musimnya terus mengalami inovasi.

Bentuk layangan tradisional Bali pada zaman dahulu Facebook.com/Layang Layang Tradisional Bali

Layangan tradisional Bali sendiri memiliki 3 jenis seperti yang telah ditulis sebelumnya, dimana 3 jenis tersebut adalah, Bebean, Pecuk, dan Janggan.

Ketika ditanya soal alasan kenapa jenis layangan bebean harus ngelog, ia menjelaskan karena jenis tersebut sesuai dengan filosofi dan pakem, dimana layangan Bebean diidentikan dengan ikan yang bergerak di air.

Hal itu lah yang menjadi penilaian dari perlombaan layangan dalam kategori Bebean. Mulai dari elog-elogan yang bagus.

Baca Juga: 3 Jenis Sedekah 'Dana Punia' dalam Hindu yang Jarang Diketahui, Tidak Hanya Berupa Uang

“Suara guwangan harus menonjol, kombinasi warna harus menyatu baru bisa dikatakan layangan itu bagus, dari sudut pandang penilaian nominasi. Namun, kalau hanya sekedar pake hiburan bebas aja sesuka hati kita," tuturnya.

"Selera orang kan berbeda, seni itukan relatif dan fleksibel tanpa ada suatu batasan,” tambahnya.

Varga pun menampik bila budaya melayangan ini tidak akan hilang meskipun banyak anak muda jaman sekarang yang sibuk dengan gawainya sendiri. Hal itu karena tiap tahunnya selalu ada para Rare Angon baru yang mulai terjun dan tekun menggeluti dunia layang-layang khususnya layangan tradisional Bali.

“Disamping itu, Bali memiliki beberapa layangan sakral yang tentunya harus terbang dalam setiap musim walaupun sekali saja,” jelasnya.

Namun, ia meminta kepada Lembaga Pemerintah Bali, maupun kabupaten untuk menindak lanjuti permasalahan yang sering dihadapi Rare Angon, dimana mereka kehabisan lahan untuk menerbangkan layang-layang seiring banyaknya alih fungsi lahan kosong menjadi hotel-hotel, dan pusat perbelanjaan.

“Tentang kesediaan lahan permanen yang bisa terus para pelayang Bali gunakan untuk melayangan, dari pihak pemerintah tidak serius menanggapi persoalan ini nah ini salah satu keresahan para pelayang Bali,” katanya.

“Sebagai contoh, lahan Pantai Padang Galak, tempat itu milik perusahaan pribadi begitu juga dengan Pantai Mertasari yang biasa digunakan sebagai area tempat nunjuk layangan pun dimiliki oleh Perusahaan,” sambungnya.

Akhir kata, Varga meminta kepada pemerintah Bali dan generasi muda untuk bersama-sama menjaga warisan budaya ini.***

Editor: Muhammad Khusaini

Tags

Terkini

Terpopuler