Omnibus Law UU Cipta Kerja Menciptakan Lapangan Kerja atau Oligarki?

- 14 Oktober 2020, 13:11 WIB
UU Omnibus Law Cipta Kerja Menciptakan Lapangan Kerja atau Oligarki?
UU Omnibus Law Cipta Kerja Menciptakan Lapangan Kerja atau Oligarki? /ANTARA FOTO /

RINGTIMES BALI - Omnibus Law UU Cipta Kerja menurut Menteri Ketenagakerjaan, Ida Fauziyah sangat dibutuhkan untuk menjawab tantangan terbesar, yaitu mempertahankan dan menciptakan lapangan kerja sebanyak mungkin. Namun banyak pihak menyebut jika UU ini justeru akan menimbulkan pengaruh oligarki yang kuat.

Ida menjelaskan, setiap tahun terdapat sekitar 2,9 juta penduduk usia kerja baru yang masuk ke pasar kerja.

Menurutnya, hal itulah yang membuat kebutuhan atas lapangan kerja baru sangat mendesak. Lantas benarkah adanya UU Omnibus Law Cipta Kerja ini justeru akan menimbulkan oligarki yang kuat dimana yang kaya makin kaya dan yang miskin makin miskin?

Baca Juga: ShopeePay Perluas Jangkauan ke Lebih dari 500 Outlet Planet Ban

Apalagi, di tengah pandemi Covid-19, terdapat sekitar 6,9 juta pengangguran dan 3,5 juta pekerja terdampak pandemi Covid-19.

"RUU Cipta Kerja bertujuan untuk menyediakan lapangan kerja sebanyak-banyaknya bagi para pencari kerja dan penganggur,” kata Ida dalam keterangan persnya yang diterima RRI, Selasa 13 Oktober 2020 sebagaimana dikutip RINGTIMES BALI.

Selain itu, kata Menaker Ida, UU Omnibus Law Cipta Kerja hadir untuk mendorong produktivitas kerja.

Baca Juga: Ingin Daftar Bansos PKH? Ikuti Cara Mekanisme Pemutahiran Mandiri Berikut ini

Persoalan pendidikan pekerja Indonesia yang kebanyakan setingkat SMA ke bawah menyebabkan produktivitas kerja Indonesia tertinggal dibanding beberapa negara lain.

Berdasarkan kajian yang dilakukan pemerintah, dikatakan bahwa jika tidak adanya reformasi struktural dan percepatan transformasi ekonomi, dikhawatirkan lapangan kerja akan pindah ke negara lain yang lebih kompetitif. Penduduk yang tidak/belum bekerja akan semakin tinggi, dan Indonesia terjebak dalam middle income trap, ucapnya.

Dalam proses penyusunan RUU Omnibus Law Cipta Kerja, pihaknya melibatkan partisipasi publik, baik unsur pekerja/buruh, pengusaha, kementerian/lembaga, praktisi dan akademisi, dan lembaga lainnya, seperti ILO. Proses diskusi sudah berjalan melalui LKS Tripartit Nasional.

Baca Juga: Siap-siap Tiga Bank di Indonesia Merger jadi Satu di 2021, Apa Saja Simak di Sini

Ida mengatakan, setelah disahkannya RUU Omnibus Law Cipta Kerja, pemerintah akan segera menyusun Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) sebagai acuan operasional pelaksanaannya.

Prinsip keterbukaan akan ditunjukkan pemerintah tidak hanya dalam penyusunan UU, tetapi juga akan berlaku pada saat penyusunan RPP.

“Kami akan melakukan dialog sosial dan menampung ide, saran dan masukan dari para pemangku kepentingan yang terkait dengan ketenagakerjaan,” kata Ida.

Sementara itu, Aulia Nastiti seorang akademisi senior mengungkapkan disahkannya RUU Omnibus Law Cipta Kerja hanya akan menguntungkan kalangan atas.

Baca Juga: Tips dan Dukungan untuk Lansia Beradaptasi di New Normal, Keluarga Inti Adalah Bagian Terpenting

"Pemerintah mengklaim desain kebijakan ini memudahkan investasi. Namun, revisi ratusan aturan dalam Omnibus Law tidak akan mendatangkan kemudahan, tetapi justru ketidakpastian di tengah resesi . RUU Cipta Kerja juga solusi salah sasaran karena tidak menyentuh akar masalah utama yang menghambat bisnis di Indonesia, yaitu korupsi," ucapnya dikutip dari The Conversation.

Pemerintah berargumen bahwa investasi adalah kunci dalam menciptakan lapangan kerja. Sayangnya, data realisasi investasi mengindikasikan bahwa akar masalah pengangguran di Indonesia bukan karena kurang suntikan modal.

Sumber: Badan Koordinasi Penanaman Modal, analisis dan grafik diolah penulis., Author provided (No reuse)
Sumber: Badan Koordinasi Penanaman Modal, analisis dan grafik diolah penulis., Author provided (No reuse)

"Analisis ekonom Faisal Basri pun menyebutkan bahwa performa investasi di Indonesia cukup baik. Terbukti dari investasi yang terus naik, tetapi serapan tenaga kerja justru turun," cetusnya.

Baca Juga: SBY 'Curhat' ke Wiranto dan JK disebut Dalang Demo RUU CIpta Kerja,'Pak Jokowi percaya nggak ya?'

Untuk menjawab mengapa investasi di Indonesia tidak berdampak pada pembukaan lapangan kerja dan perbaikan nasib pekerja, yang perlu dipertanyakan bukan bagaimana menarik investasi, tetapi ke mana modal mengalir.

Data terbaru Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mengkonfirmasi bahwa sektor manufaktur yang pernah menjadi andalan kini digantikan oleh sektor jasa atau sektor tersier yang makin mendominasi. Sektor jasa yang paling banyak menyerap modal adalah konstruksi, transportasi, telekomunikasi, dan jasa keuangan/perbankan.

Sumber: Badan Koordinasi Penanaman Modal, analisis dan grafik diolah penulis., Author provided (No reuse)
Sumber: Badan Koordinasi Penanaman Modal, analisis dan grafik diolah penulis., Author provided (No reuse)

Aliran modal di Indonesia punya dampak berbeda dalam dua arah: merugikan ke bawah dan menguntungkan ke atas.

Baca Juga: Tips Cara Mengatasi Keguguran yang Berulang

"Bagi pekerja kelas menengah ke bawah, tren ini cenderung merugikan. Pertama, sektor jasa merupakan industri padat modal, bukan padat karya – artinya minim penyerapan tenaga kerja," tandasnya.

Kedua, kualitas relasi kerja di sektor jasa – terutama bagi pekerja yang minim keahlian dan daya tawar pasar – juga cenderung buruk mengingat sektor ini sarat dengan penggunaan outsourcing, penggunaan tenaga kontrak tanpa batas, dan pemecatan sewaktu-waktu. Perlindungan hak pekerja juga minim, salah satunya karena gerakan serikat pekerja dalam sektor ini tidak sekuat di sektor manufaktur.

Salah satu contohnya adalah Gojek dan Grab. Perusahaan aplikasi disorot sebagai primadona dalam menggenjot investasi di Indonesia serta diklaim sebagai solusi membuka lapangan kerja.

Baca Juga: Jadwal Pencairan Bansos PKH Tahap 4 Tiga Kali Lipat di Oktober, cekbansos.siks.kemsos.go.id

Klaim demikian mengabaikan fakta bahwa bisnis inimengaburkan relasi kerja antara pengemudi dan perusahaan. Akibatnya, pekerja tidak punya perlindungan hukum. Kontrak dapat diputus sewaktu-waktu, pemasukan tidak pasti karena tarif dan kebijakan perusahaan terus berubah, serta tidak ada kesempatan untuk upskilling atau peningkatan keahlian.

Akhirnya, investasi yang terus naik tidak berdampak bagi perbaikan lapangan kerja baik secara kuantitas maupun kualitas di Indonesia. Apalagi jika kita bandingkan dengan negara tetangga di Asia Tenggara, rata-rata pendapatan riil bulanan yang diterima pekerja di Indonesia masih paling rendah.

Sumber: ILO Labour Statistics, CEIC Data, analisis dan grafik oleh penulis
Sumber: ILO Labour Statistics, CEIC Data, analisis dan grafik oleh penulis

Sebaliknya, yang paling diuntungkan dari kenaikan investasi di Indonesia adalah aktor kelas atas, terutama konglomerat dan politikus yang telah mendominasi tatanan kelas sosial-ekonomi di Indonesia.

Baca Juga: Bansos non PKH Cair Rp500 Ribu, Login cekbansos.siks.kemsos.go.id, Wajib Punya Kartu Ini

Dana investasi paling banyak mengalir ke proyek konstruksi infrastruktur dan bangunan, serta sektor listrik, gas, air, telekomunikasi, transportasi, dan keuangan.

Di luar sektor jasa, investasi di Indonesia juga mengalami kenaikan di sektor komoditas perkebunan, pertambangan, dan kehutanan. Investasi di bidang kehutanan bahkan mengalami peningkatan lebih dari 15 kali lipat dalam lima tahun (2014-2019).

Bisnis dalam sektor-sektor tersebut identik dengan perilaku memburu rente (rent-seeking). Alih-alih mengandalkan penciptaan nilai tambah baru (capital-generating) melalui produksi dan penggunaan tenaga kerja, bisnis pemburu rente mengejar keuntungan dengan cara utama melakukan produksi serta memanipulasi penyaluran sumber daya ekonomi lewat transaksi politik dengan penguasa, misalnya kongkalikong tender, perizinan, atau konsesi lahan.

Baca Juga: BLT Subsidi Gaji Cair ke 11,9 Juta Penerima, Cek Rekening dan Login sso.bpjsketenagakerjaan.go.id

"Akibatnya, oligarki makin menguat," tandas Aulia yang kini menuntut ilmu di Departemen Ilmu Politik, Universitas Northwestern ini.

Indikasi suburnya oligarki terlihat dari harta kekayaan lima puluh konglomerat terkaya di Indonesia yang justru meroket saat ekonomi negara melambat. Sebagian besar pundi-pundi mereka berasal dari bisnis pemburuan rente dan koalisi dengan politisi.

Pertalian kepentingan antara pejabat dan konglomerat juga makin erat karena hampir separuh anggota DPR periode 2019-2024 adalah pengusaha, pemegang saham, komisaris, hingga direksi di lebih dari seribu perusahaan yang mendominasi aliran investasi di Indonesia.

Baca Juga: Jadwal Pencairan BLT BPJS Ketenagakerjaan Termin II Diumumkan, Fakta Belum terima, Yuk Lapor di Sini

Kebijakan yang mendatangkan petaka, kondisi ini bukan berarti investasi di sektor jasa selalu buruk. Tidak dipungkiri, aliran modal memang diperlukan untuk pembangunan. Yang menimbulkan bahaya adalah pertumbuhan aliran modal yang dilandasi pelemahan kelas pekerja dan penguatan oligarki.

Berbagai kajian dan diskusi publik telah menjabarkan poin-poin Omnibus Law yang berdampak buruk bagi pekerja. Namun, penciptaan Lembaga Pengelola investasi (LPI) yang diatur dalam UU Cipta Kerja belum banyak disoroti.

Lembaga baru ini digadang akan memiliki kewenangan untuk mengkoordinasikan dan mengontrol aliran dana investasi. Akuntabilitas dan audit Lembaga ini tidak dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tetapi oleh kantor akuntan publik.

Baca Juga: Viral Video Bupati Blora Asyik Berjoget saat Hajatan, Ganjar Pranowo Tegur Jajarannya

Dewan pengawas dan pimpinan lembaga ini akan diisi oleh pejabat, seperti Menteri Keuangan dan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan dipilih oleh presiden.

Hadirnya Lembaga seperti ini patut dikhawatirkan karena justru mengendurkan kontrol terhadap politik oligarki yang melandasi alokasi dana investasi, apalagi jika LPI ini menjadi sumber “dana non-budgeter” yang rawan korupsi dan minim transparansi.

Disahkannya UU Cipta Kerja makin melengkapi berbagai revisi aturan yang sebelumnya telah dilakukan untuk melemahkan rakyat dan menguatkan oligarki.

Baca Juga: Cara Daftar dan Syarat Pencairan Insentif BLT UMKM Rp2,4 Juta, Perhatikan Satu Ini Agar Cair

Tentu masih segar di ingatan kita bagaimana Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dilemahkan lewat revisi UU KPK tahun lalu, disusul dengan revisi UU Minerba awal tahun ini yang memperkuat jejaring oligarki tambang.

Omnibus Law kluster lingkungan makin memudahkan eksploitasi dan penguasaan lahan.

Alih-alih memperbaiki ekonomi, Omnibus Law justru memperparah konsentrasi kekayaan di tangan segelintir orang dengan cara mengkonsolidasikan kekuatan.***

Editor: Tri Widiyanti

Sumber: RRI


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x