Mengenang Almarhum Sapardi Djoko Damono, Lewat Karya Puisinya

6 Agustus 2020, 16:04 WIB
Sapardi Djoko Damono /

RINGTIMES BALI – Sapardi Djoko Damono adalah seorang pujangga dan penyair terkemuka  negeri ini, pria kelahiran 20 Maret 1940 itu baru saja meninggalkan kita dari dunia pada Minggu, 19 Juli 2020, kemarin.

Kepergiannya  menjadi duka bagi dunia sastra Indonesia.

Sosoknya dikenal sebagai pujangga yang telah menghasilkan deretan puisi yang menyentuh kalbu, dan yang paling dikenal adalah Hujan Bulan Juni yang diterbitkan pada 1994 lalu.

Baca Juga: Fakta Hutan Aokigahara, Yang Dijuluki Sebagai Hutan Bunuh Diri

Mungkin raga beliau sudah kembali pada yang kuasa, tapi kita masih bisa mengenang sosok Sapardi Djoko Damono lewat syair-syair yang dia tinggalkan.

Berikut beberapa puisi sosok Supardi Djoko Damono.

 

  1. Hujan Di Bulan Juni

Hujan Di Bulan Juni

Tak ada yang lebih tabah

Dari hujan di bulan juni

Dirahasiakan rintik rindunya

Kepada pohon berbunga itu

 

Tidak ada yang lebih bijak

Dari hujan di bulan juni

Dihapuskan jejak-jejak kakinya

Yang ragu-ragu di jalan itu

 

 Baca Juga: 3 Trik Jitu untuk Meraih Kesuksesan

 

Tak ada yang lebih arif

Dari hujan di bulan juni

Dibiarkannya yang tak terucapkan

Diserap akar pohon bunga itu

 

  1. kupandang kelam yang merapat ke sisi kita

kupandang kelam yang merapat ke sisi kita

siapa itu di sebelah sana, tanyamu tiba-tiba

(malam berkabut seketika) Barangkali menjemputku

barangkali berkabar penghujan itu

kita terdiam saja di pintu. Menunggu

atau ditunggu, tanpa janji terlebih dahulu

kenalkah ia padamu, desakmu (Kemudian sepi

terbata-bata menghardik berulang kali)

 

Baca Juga: Kini Hadir di Indonesia Mulai 5 September Disney Plus Hotstar

 

bayang-bayang pun hampir sampai di sini. Jangan

ucapkan selamat malam; undurlah perlahan

(pastilah sudah gugur hujan

di hulu sungai itu); itulah Saat itu, bisikku

kukecup ujung jarimu; kau pun menatapku:

bunuhlah ia, suamiku (Kutatap kelam itu

bayang-bayang yang hampir lengkap mencapaiku

lalu kukatakan: mengapa Kau tegak di situ)

 

  1. Dua Sajak di Bawah Satu Nama

I

Darah tercecer di ladang itu. Siapa pula

binatang korban kali ini, saudara?

Lalu senyap pula. Berapa jaman telah menderita

semenjak Ia pun mengusir kita dari Sana

 

Awan-awan kecil mengenalnya kembali, serunya:

telah terbantai Abel, darahnya merintih kepada Bapa

(aku pada pihakmu, saudara, pandang ke muka

masih tajam bau darah itu. Kita ke dunia)

 Baca Juga: Menakjubkan! Inilah Spot Diving dan Snorkeling Terbaik di Bali

II

Kalau Kau pun bernama Kesunyian, baiklah

tengah hari kita bertemu kembali; sehabis

kubunuh anak itu. Di tengah ladang aku tinggal sendiri

bertahan menghadapi Matahari

 

Dan Kau pun di sini. Pandanglah dua belah tanganku

berlumur darah saudaraku sendiri

pohon-pohon masih tegak, mereka pasti mengerti

dendam manusia yang setia tetapi tersisih ke tepi

 

Benar. Telah kubunuh Abel, kepada siapa

tertumpu sakit hati alam, dendam pertama kemanusiaan

awan-awan di langit kan tetap berarak, angin senantiasa

menggugurkan daunan; segala atas namamu: Kesunyian

 Baca Juga: CEK FAKTA: Hadi Pranoto Ngaku Obat Covidnya Dipesan Ratu Elisabeth, Kemenkes: Jamu Bukan Vaksin

 

  1. Hari pun Tiba

Hari pun tiba. Kita berkemas senantiasa

kita berkemas sementara jarum melewati angka-angka

kau pun menyapa: ke mana kita

tiba-tiba terasa musim mulai menanggalkan daun-daunnya

 

Tiba-tiba terasa kita tak sanggup menyelesaikan kata

tiba-tiba terasa bahwa hanya tersisa gema

sewaktu hari pun merapat

jarum jam hibuk membilang saat-saat terlambat

 

Semoga beristirahat dengan tenang di sisi Tuhan yang Maha Esa.***

Editor: Moh. Husen

Tags

Terkini

Terpopuler