RINGTIMES BALI – Sapardi Djoko Damono adalah seorang pujangga dan penyair terkemuka negeri ini, pria kelahiran 20 Maret 1940 itu baru saja meninggalkan kita dari dunia pada Minggu, 19 Juli 2020, kemarin.
Kepergiannya menjadi duka bagi dunia sastra Indonesia.
Sosoknya dikenal sebagai pujangga yang telah menghasilkan deretan puisi yang menyentuh kalbu, dan yang paling dikenal adalah Hujan Bulan Juni yang diterbitkan pada 1994 lalu.
Baca Juga: Fakta Hutan Aokigahara, Yang Dijuluki Sebagai Hutan Bunuh Diri
Mungkin raga beliau sudah kembali pada yang kuasa, tapi kita masih bisa mengenang sosok Sapardi Djoko Damono lewat syair-syair yang dia tinggalkan.
Berikut beberapa puisi sosok Supardi Djoko Damono.
- Hujan Di Bulan Juni
Hujan Di Bulan Juni
Tak ada yang lebih tabah
Dari hujan di bulan juni
Dirahasiakan rintik rindunya
Kepada pohon berbunga itu
Tidak ada yang lebih bijak
Dari hujan di bulan juni
Dihapuskan jejak-jejak kakinya
Yang ragu-ragu di jalan itu
Baca Juga: 3 Trik Jitu untuk Meraih Kesuksesan
Tak ada yang lebih arif
Dari hujan di bulan juni
Dibiarkannya yang tak terucapkan
Diserap akar pohon bunga itu
- kupandang kelam yang merapat ke sisi kita
kupandang kelam yang merapat ke sisi kita
siapa itu di sebelah sana, tanyamu tiba-tiba
(malam berkabut seketika) Barangkali menjemputku
barangkali berkabar penghujan itu
kita terdiam saja di pintu. Menunggu
atau ditunggu, tanpa janji terlebih dahulu
kenalkah ia padamu, desakmu (Kemudian sepi
terbata-bata menghardik berulang kali)
Baca Juga: Kini Hadir di Indonesia Mulai 5 September Disney Plus Hotstar
bayang-bayang pun hampir sampai di sini. Jangan
ucapkan selamat malam; undurlah perlahan
(pastilah sudah gugur hujan
di hulu sungai itu); itulah Saat itu, bisikku
kukecup ujung jarimu; kau pun menatapku:
bunuhlah ia, suamiku (Kutatap kelam itu
bayang-bayang yang hampir lengkap mencapaiku
lalu kukatakan: mengapa Kau tegak di situ)
- Dua Sajak di Bawah Satu Nama
I
Darah tercecer di ladang itu. Siapa pula
binatang korban kali ini, saudara?
Lalu senyap pula. Berapa jaman telah menderita
semenjak Ia pun mengusir kita dari Sana
Awan-awan kecil mengenalnya kembali, serunya:
telah terbantai Abel, darahnya merintih kepada Bapa
(aku pada pihakmu, saudara, pandang ke muka
masih tajam bau darah itu. Kita ke dunia)
Baca Juga: Menakjubkan! Inilah Spot Diving dan Snorkeling Terbaik di Bali
II
Kalau Kau pun bernama Kesunyian, baiklah
tengah hari kita bertemu kembali; sehabis
kubunuh anak itu. Di tengah ladang aku tinggal sendiri
bertahan menghadapi Matahari
Dan Kau pun di sini. Pandanglah dua belah tanganku
berlumur darah saudaraku sendiri
pohon-pohon masih tegak, mereka pasti mengerti
dendam manusia yang setia tetapi tersisih ke tepi
Benar. Telah kubunuh Abel, kepada siapa
tertumpu sakit hati alam, dendam pertama kemanusiaan
awan-awan di langit kan tetap berarak, angin senantiasa
menggugurkan daunan; segala atas namamu: Kesunyian
Baca Juga: CEK FAKTA: Hadi Pranoto Ngaku Obat Covidnya Dipesan Ratu Elisabeth, Kemenkes: Jamu Bukan Vaksin
- Hari pun Tiba
Hari pun tiba. Kita berkemas senantiasa
kita berkemas sementara jarum melewati angka-angka
kau pun menyapa: ke mana kita
tiba-tiba terasa musim mulai menanggalkan daun-daunnya
Tiba-tiba terasa kita tak sanggup menyelesaikan kata
tiba-tiba terasa bahwa hanya tersisa gema
sewaktu hari pun merapat
jarum jam hibuk membilang saat-saat terlambat
Semoga beristirahat dengan tenang di sisi Tuhan yang Maha Esa.***