Gara-gara Covid-19, Pemerintah Arab Saudi Terpaksa Berhutang Hingga Jual Aset

23 Juli 2020, 21:00 WIB
Raja Arab Saudi, Salman bin Abdulaziz Al Saud. /BANDAR AL-JALOUD/AFP

RINGTIMES BALI - Mohammed al-Jadaan selaku Menteri Keuangan Arab Saudi mengungkapkan bahwa Pemerintah Arab Saudi akan menjual aset-aset yang dimilikinya pada sektor-sektor tertentu.

Sektor tersebut diantaranya sektor kesehatan dan sektor pendidikan yang sebelumnya tidak dipertimbangkan untuk di privatisasi.

Dilansir dari Reuters, pada Rabu (22/7/2020), Mohammed al-Jadaan juga menyebutkan bahwa privatisasi tersebut setidaknya akan meraup 50 miliar dolar AS (sekitar Rp 729,13 triliun) dalam 5 tahun kedepan.

Baca Juga: Laut Denmark Berubah Menjadi Merah Ditengah Pandemi Covid-19 Karena Tradisi

Tahun ini, Arab Saudi tengah mengalami resesi yang tajam akibat dari dampak pandemi Covid-19. Hal yang paling memprihatinkan adalah anjloknya harga minyak juga membuat pendapatan minyak jeblok.

Tahun 2020 ini diperkirakan terjadinya kontraksi hingga 6,8 persen oleh International Monetary Fund (IMF). Namun menurut Menteri Keuangan Arab Saudi, kontraksinya bisa lebih rendah dari angka yang ditargetkan tersebut.

Dalam upaya meningkatkan kas Negara yang mulai anjlok bulan ini, pemerintah Arab Saudi telah melipatgandakan pajak pertambahan nilai menjadi 15 persen.

Baca Juga: Hebat Gadis Afghanistan Menembak Mati Pejuang Taliban, Setelah Menyaksikan Orang Tuanya Dibantai

Artikel ini sebelumnya telah terbit di Galamedianews.com dengan judul Pendapatan Jeblok, Pemerintah Arab Saudi Terpaksa Berutang dan Jual Aset

Arab Saudi telah mengumpulkan 12 miliar dolar AS (sekitar Rp 174,89 triliun) melalui obligasi internasional sejauh ini. "Dan akan meningkatkan penerbitan utang lokal dibandingkan dengan rencana aslinya," kata Jadaan.

IMF pernah menyebut wilayah Timur Tengah dan Afrika Utara bakal turun ke titik terendahnya selama 50 tahun, karena Covid-19 dan rendahnya harga minyak.

Baca Juga: Update Corona Dunia: Kasus Positif Capai 15 Juta Lebih, Amerika Tertinggi, ASEAN Indonesia

Pertumbuhan ekonomi di wilayah tersebut diperkirakan minus 5,7% bahkan bisa minus 13% apabila ada konflik yang muncul di negara tersebut. Angka ini lebih rendah 2,4% dibanding prediksi IMF sebelumnya pada April 2020.

Hancurnya ekonomi dua wilayah ini akan membuat tingkat kemiskinan dan pengangguran meningkat. Sementara dari sisi fiskal, bakal membuat defisit dan utang membengkak.

"Wilayah ini menghadapi krisis lebih, tidak seperti wilayah lain. Ada dua tekanan yang menghantam ekonomi wilayah ini," ujar Direktur IMF untuk Timur Tengah dan Asia Tengah, Jiad Azour, dilansir dari AFP, Senin (13/7/2020).

Baca Juga: Menghadapi Provokasi AS di Laut Cina Selatan, Cina Siapkan Zet Canggih

Sejumlah negara di Timur Tengah memberlakukan aturan lockdown untuk menekan penyebaran virus corona, kebijakan ini makin menekan aktivitas ekonomi.

Sebagaimana diketahui, harga minyak jatuh hingga duapertiga, karena pergerakan ekonomi dunia yang terhambat penyebaran virus corona. Saat ini harga minyak pulih ke kisaran US$ 40/barel.

Negara eksportir minyak di wilayah ini memprediksi adanya kerugian pendapatan mencapai 270 miliar dolar AS (sekitar Rp 3.936 triliun) karena penurunan harga minyak.*** (Dicky Aditya/Galamedianews.com)

Baca Juga: India dan Nepal Diterjang Banjir dan Longsor, 4 juta Warga Mengungsi

Editor: Dian Effendi

Sumber: Galamedianews

Tags

Terkini

Terpopuler