"Menurut BPOM fasilitas di RS kariadi belum memenuhi standar GMP good manufacturing practise yang mutlak diperlukan dalam pembuatan vaksin yang personal, karena ancaman adanya kontaminasi kuman," katanya.
Baca Juga: Cek Fakta, Muncul Berita Vaksin mRna Covid-19 Menyebabkan Kanker, Simak Faktanya
Baca Juga: Perbolehkan Suntik Vaksin Siang Hari saat Ramadhan, MUI: Kecuali Kalau Diminum Batal
Ketiga, respon imun vaksin dendrit cenderung menimbulkan imunitas seluler bukan imunitas humoral (pembentukan antibodi). Dalam tahap uji klinis fase 1 yang lalu, tidak jelas berapa persentase relawan yang memunculkan antibodi padahal antibodi penting untuk menyergap virus.
Keempat, data tidak transparan.
"Hingga kini ilmuwan independen seperti saya tidak bisa mengakses data hasil uji klinis fase 1. Padahal dalam pengembangan vaksin covid lainnya, semua melaporkan dan mempublikasikannya secara luas sehingga bisa dianalisa oleh ilmuwan lainnya," tukasnya.
Kelima, katanya, apabila memang benar mayoritas relawan uji klinis fase 1 memunculkan neutralizing antibodi maka ini menjadi tidak lazim karena umumnya produksi vaksin dendrit memunculkan respon seluler bukan humoral (antibodi) maka tentu perlu penjelasan kok bisa berbeda dari kelaziman.
Baca Juga: Ribuan Pekerja Migran Diduga Jadi Korban Pungli Rp15 Ribu untuk Vaksin Gratis di Bali
Tanggapan saya:
1) Pertama, bukan inovasi anak bangsa. Inovasinya berasal dari Amerika oleh peneliti Amerika dari perusahaan biotek komersil di Amerika. Tim Dr Terawan tidak menceritakan keutuhan teknologi ini dan cenderung menamainya ‘nusantara’ yang sebenarnya tidak akurat.— Pak Ahmad (@PakAhmadUtomo) April 15, 2021
keenam, menurutnya dana republik terbatas.
"Kita sedang mengembangkan inovasi vaksin Merah Putih, artinya ilmuwan nasional tentu mendukung sesama ilmuwan yang berdasarkan kepada teknologi dan data yang bisa dipertanggungjawabkan. Maka prioritaskan pendanaan vaksin merah putih," pungkasnya.***