Connie Rahakundini Sebut Ada Mafia Militer Manipulasi Anggaran Alutsista

6 Mei 2021, 07:41 WIB
Connie Rahakundini Bakrie mengungkap kejanggalan yang ada di dalam industri pertahanan di Indonesia. /Tangkap Layar YouTube/Poin

RINGTIMES BALI – Tenggelamnya kapal selam KRI Nanggala-402 yang menewaskan 53 prajurit Hiu Kencana menyisakan luka yang mendalam bagi seluruh masyarakat Indonesia.

Belum diketahui penyebab pasti tenggelamnya KRI Nanggala-402 di perairan Bali, hingga muncul isu tentang pengadaan Alat Utama Sistem Senjata (Alutsista) di tubuh TNI.

Hal tersebut menjadi sorotan setelah pengamat militer dan pertahanan keamaan, Connie Rahakundini Bakrie mengeluarkan pernyataan, bahwa ada mafia Alutsista yang menjadi penyebab persoalan pada sistem pertahanan negara Indonesia.

Baca Juga: Misteri Tenggelamnya KRI Nanggala 402, TNI AL Ungkap Adanya Peristiwa Alam 'BMKG pun Tidak Bisa Prediksi'

Dilansir Ringtimesbali.com dari kanal YouTube Poin, Connie Rahakundini Bakrie mengungkap selama ini ada masalah di dalam sistem maintenance, repair, and overhaul (MRO) pada KRI Nanggala-402.

Connie menegaskan kepada Badan Pemeriksa Keuangan RI (BPK) untuk segera melakukan audit terkait MRO.

Connie juga merasa ada kejanggalan pada jumlah Alutsista di negara Indonesia. Menurut Connie, nilai anggaran pertahanan harus setara dengan nilai kesiapan Alutsista, namun hal itu tidak sesuai dengan yang seharusnya.

"Dari 2009 sampai 2020, bapak tau kenaikan anggaran pertahanan kita berapa? 400 persen tepatnya 389 persen, harusnya, menurut saya ketika anggaran pertahanan naik, readiness atau kesiapan Alutsista itu juga meningkat, naik tapi sangat sedikit," kata Connie.

Baca Juga: Viral Awan Mirip Kapal Selam KRI Nanggala 402 di Langit Pantai Sanur

Apa yang terjadi sehingga anggaran besar tetapi readiness tidak mengikuti anggaran yang besar, itu yang harus diaudit, kita mesti tau penyebabnya sebab ini bencana besar,” lanjut Connie.

Connie Rahakundini Bakrie mengatakan, terdapat segitiga permasalahan yang membuat Indonesia tidak akan maju, meskipun anggaran pertahanan meningkat.

“Ada segitiga menurut saya yang membuat sampai kapanpun, meskipun anggaran pertahanan itu naik Indonesia akan begini-begini aja, satu, industri pertahanan yang semu, apa itu, ngaku bisa bikin tank misalkan," ungkapnya.

"Tapi sebenarnya, kebanyakan itu bukan bikin, tapi merakit, ngaku bisa bikin heli, tapi semuanya juga sama potongan 3 dateng disambung,” lanjut Connie Rahakundini Bakrie.

Baca Juga: Lampu Merah Putih Hiasi Sejumlah Gedung di Malaysia sebagai Penghormatan KRI Nanggala 402

Kedua, adanya mafia senjata seperti broker dan agen, katanya, ketiga, pencuri data spesifikasi yang dapat mengakses data dalam industri pertahanan dan menyalahgunakan anggaran.

Mantan Ketua Dewan Pengawas Industri Perhanan Swasta ini terkenal dengan ketelitian dan ketegasannya. Connie paham betul bagaimana sistem di industri pertahanan bekerja beserta kejanggalan-kejanggalan yang terjadi.

Di sisi lain, Connie Rahakundini Bakrie menyinggung Menteri Pertahanan, Prabowo Subianto yang hingga kini dianggap belum mampu mewujudkan visi negara sebagai Poros Maritim Dunia.

"Tadi pernyataan Pak Prabowo misalnya akan bikin master plan 2 minggu 3 minggu. Master plan apa? gak ada dalam pertahanan master plan harusnya itu road map, karena dia mesti bikin jangka pendeknya apa, sedangnya apa, panjangnya apa, karena Alutsista itu tidak bisa dipesan seperti kue ke mall,” pungkas Connie.

Baca Juga: Misteri Hilangnya KRI Nanggala 402, Ahli Spiritual Ungkap Aura Kuat Suara Jeritan Minta Pertolongan

Permainan Alutsista rupanya bukanlah hal yang baru dalam dunia militer Indonesia, mantan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD), Jenderal TNI Pramono Edhie Wibowo pernah mengungkap dirinya pernah ditawari keuntungan yang sangat besar dalam permainan kotor tersebut.

Pramono Edhie Wibowo mengatakan, saat itu Angkatan Darat berencana membeli 50 ribu alat bidik untuk senapan serbu SS2 dari luar negeri.

Pihak penjual alat bidik tersebut memberi penawaran pada Pramono Edhie Wibowo senilai Rp24 juta per unit, namun Edhie berpikir harga tersebut terlalu mahal.

Pramono Edhie Wibowo mengaku dicegah saat ingin membeli alat bidik dengan harga asli senilai Rp9 juta oleh pihak broker di Singapura-yang merupakan pihak ketiga pabrik senjata di Amerika.

Baca Juga: Polri Siapkan Posko Evakuasi dan Indentifikasi Korban KRI Nanggala 402 yang Tenggelam di Laut Utara Bali

Akhirnya Edhie mampu menembus pabrik senjata di Amerika secara langsung dan mendapat alat bidik dengan harga yang sebenarnya.

Jika saat itu Edhie meneriwa tawaran untuk membeli alat bidik senilai Rp24 juta per unit dari broker Singapura, dari harga tersebut, Pramono Edhie Wibowo akan mendapat keuntungan senilai Rp4 juta dari setiap unit, sehingga total komisi yang ia kantongi mencapai Rp20 miliar.***

 

Editor: Muhammad Khusaini

Tags

Terkini

Terpopuler