Cerita Rakyat Meriam Tegak, Encik Walek Menemukan Cendawan dan Dimasaknya Sehingga Tubuhnya Menjadi Kuat (3)

11 Mei 2022, 17:23 WIB
Ilustrasi Meriam Tegak yang merupakan cerita rakyat dari Kepulauan Riaun /Pixabay

RINGTIMES BALI - Encik Nuh dan Encik Walik akhirnya sering bertengkar gara-gara tidak mampu memindahkan Meriam Tegak.

Legenda dari Kepualaun Riau Meriam Tegak yang telah kami ceritakan pada artikel sebelumnya yang berjudul 'Cerita Rakyat Meriam Tegak, Encik Walek Bersedih Usai Menemukan Anak Ayam Mati di Bawah Meriam (2)' akan berlanjut pada artikel ini.

Seperti diketahui, Cerita rakyat Meriam Tegak mengisahkan tentang seorang kakek bernama Encik Nuh yang diminta istrinya, Encik Walek, untuk memindahkan meriam tua yang ada di halaman rumah mereka.

Baca Juga: Cerita Rakyat Meriam Tegak dari Kepulauan Riau, Kisah Encik Nuh Diminta Istrinya Memindahkan Meriam Tua (1)

Berikut ini kisah lanjutan dari cerita rakyat Meriam Tegak;

Meriam Tegak (3)

Hari itu pun berakhir seperti hari sebelumnya.

Begitu pun yang terjadi beberapa hari berikutnya.

Berhari-hari Encik Nuh mencoba dan berhari-hari pula tidak kelihatan hasilnya.

Meriam itu masih belum bisa dipindahkan. Encik Nuh pun semakin heran dibuatnya.

“Kenapa sampai hari ini masih tak terangkat juga?” pikir Encik Nuh.

Baca Juga: Cerita Rakyat Meriam Tegak, Encik Walek Bersedih Usai Menemukan Anak Ayam Mati di Bawah Meriam (2)

“Apakah dulu saat meriam ini dipasang diadakan semacam upacara, ya? Apakah saya juga harus mengadakan upacara untuk bisa mengangkatnya?” Encik Nuh semakin pusing memikirkan meriam yang tidak bisa diangkatnya itu.

Perasaannya pun semakin gelisah karena memikirkan hal tersebut.

Encik Nuh pun mencoba berbagai cara yang dapat dipikirkannya untuk mengangkat meriam itu.

Encik Nuh mulai membaca doa-doa dan melakukan ritual lainnya dengan harapan dapat segera mengangkat meriam itu.

Baca Juga: Proses Pencarian Pesawat MH370 Terbesar dan Termahal Sepanjang Sejarah

Namun, apa daya, cara apa pun yang dicoba oleh Encik Nuh masih belum juga membuahkan hasil.

Meriam itu masih belum juga bergerak.

Melihat hal itu, Encik Walek mulai merasa gelisah sekaligus prihatin.

Encik Walek melihat beberapa perubahan pada diri suaminya.

Karena belum bisa juga memindahkan meriam itu, Encik Nuh mulai sering melamun, bahkan selera makannya pun berkurang.

Encik Walek pada awalnya cukup sabar melihat usaha suaminya yang belum membuahkan hasil.

Baca Juga: Sejarah Penemuan Little Willie, Mesin Tempur Tank Pertama di Dunia

Bahkan, Encik Walek turut menyemangati suaminya dan mengingatkan untuk bersabar meskipun usahanya belum berhasil.

Namun, lamakelamaan Encik Walek pun mulai tidak sabar dan prihatin, apalagi setelah melihat perubahan pada diri suaminya itu.

Encik Walek mulai menasihati suaminya, bahkan saat makan malam, untuk tidak melanjutkan usahanya memindahkan meriam itu.

“Pak, tak apalah kalau meriam itu tak bisa dipindahkan. Jangan diteruskan lagi ... selera makan Bapak saja sudah berkurang begini. Semakin kurus Bapak, Ibu lihat. Tak usah dilanjutkan lagi, Pak.”

“Tidak, Bu. Bapak harus terus mencoba. Tidak mungkin Bapak berhenti sekarang. Siapa tahu sebentar lagi meriam itu dapat bapak angkat.” Encik Nuh masih belum menyerah.

Baca Juga: 5 Jenderal TNI yang Pernah Konflik dengan Presiden Soeharto

Dia masih penasaran dengan meriam itu. Segala upaya masih terus dia coba meskipun belum mendatangkan hasil.

Niat Encik Nuh untuk memindahkan meriam itu pun lebih kuat daripada sebelumnya, yang sekadar ingin membersihkan pekarangan dari meriam itu.

Encik Nuh pun sebenarnya merasa malu karena sebagai suami dan seorang keturunan keluarga kesultanan, dia tidak bisa memindahkan sebuah meriam.

Karena itulah, Encik Nuh bertekad untuk menunjukkan bahwa dia mampu untuk memindahkan meriam itu dengan berbagai cara dan upaya.

Hari berganti hari, minggu berganti minggu, dan bulan pun berganti bulan. Usaha Encik Nuh untuk memindahkan meriam itu masih belum membuahkan hasil.

Encik Walek pun semakin sering menasihati suaminya.

Baca Juga: Sejarah Penemuan Rudal, Senjata Paling Mematikan di Dunia

Encik Walek melihat bahwa masalah memindahkan meriam itu mulai memengaruhi hubungan mereka berdua, bahkan juga hubungan antara Encik Nuh dan tetangga sekitar.

Memang Encik Nuh tidak merepotkan mereka untuk mengangkat meriam, tetapi hubungan antara Encik Nuh dan para tetangga semakin renggang.

Karena sibuk mencari cara untuk mengangkat meriam itu, Encik Nuh pun mengurangi waktu dan semakin jarang untuk menemui tetangga.

Bahkan, ada kalanya dalam satu hari dia tidak mau menerima tamu seorang pun.

Baca Juga: Sejarah Perang Dingin Antara Amerika Serikat dan Uni Soviet

Anak-anak kecil yang biasanya mendengarkan cerita dari Encik Nuh tidak bisa lagi mendengarkan cerita karena Encik Nuh terus sibuk mencoba mengangkat meriam itu.

Encik Walek-lah yang merasa malu kepada para tetangga atas perubahan suaminya itu.

Sebisanya dia menemui para tetangga dan tamu meskipun dia tidak bisa memenuhi keinginan tamu-tamunya itu karena pengetahuannya tidaklah sama seperti pengetahuan Encik Nuh.

Karena itulah, Encik Walek semakin sering menasihati suaminya agar hubungan mereka dan hubungan antara mereka dan para tetangga membaik kembali.

Lama-kelamaan ucapan Encik Walek kepada Encik Nuh untuk berhenti berusaha memindahkan meriam itu diterima hati Encik Nuh.

Hati Encik Nuh semakin tidak karuan karena belum berhasil mengangkat meriam itu, apalagi istrinya pun tidak lagi mendukung dan menyemangatinya.

Encik Walek juga merasakan hal yang sama. Hatinya tidak karuan karena melihat sikap suaminya yang telah berubah.

Saran Encik Walek pun tidak juga diikuti oleh suaminya sehingga terkadang keluar katakata yang menantang dari mulutnya.

“Sudahlah, Pak. Kalau memang tidak bisa, nanti Ibu saja yang mengangkatnya”.

Terus-menerus mendengar kata-kata seperti itu membuat hati dan pikiran Encik Nuh berkecamuk.

Akhirnya, bukannya mengikuti nasihat sang istri, Encik Nuh malah berkata kepada istrinya untuk mencoba sendiri memindahkan meriam itu.

“Ah,” kata Encik Nuh, “Bapak yang sudah berhari-hari mencoba mengangkatnya, tetap tak bisa juga, apalagi kalau Ibu yang mengangkatnya. Sudahlah, Bu. Biar Bapak saja yang memindahkannya. Tak usah Ibu pikirkan juga. Mana mungkin Ibu bisa mengangkatnya, apalagi memindahkannya.” Begitulah kemudian suasana di rumah Encik Nuh dan Encik Walek, mereka semakin tidak harmonis dan semakin kaku hanya karena permasalahan memindahkan meriam.

Encik Nuh yang merasa malu karena belum mampu memindahkan meriam itu menjadi semakin sensitif dan emosional.

Encik Walek pun seiring waktu semakin tidak sabar dan tidak tahan melihat perubahan pada diri suaminya.

Pada suatu hari, karena sudah tidak tahan lagi mendengar nasihat istrinya, Encik Nuh berkata kepada istrinya, “Ibu ini 33 komentar saja dari kemarin. Cobalah Ibu angkat sendiri kalau bisa. Kalau meriam itu bisa Ibu angkat, Bapak akui Ibu memang lebih hebat dari bapak.” Encik Nuh mengatakan kepada istrinya bahwa dia akan mengakui kehebatan istrinya jika istrinya itu mampu memindahkan meriam tersebut.

Namun, di dalam hati Encik Nuh yakin istrinya tidak akan mampu mengangkat meriam itu.

Ucapan sang suami itu membuat Encik Walek merasa tertantang.

Meskipun Encik Walek merasa dirinya lemah, dia semakin serius memikirkan cara untuk mengangkat meriam itu.

Pada suatu hari Encik Walek melihat kejadian aneh di belakang rumahnya.

Dia melihat ada yang aneh dengan lesung bekas yang ada di pekarangan rumahnya.

Lesung itu sudah tidak dipakai lagi untuk menumbuk beras oleh Encik Walek, lalu dibuang karena kayunya sudah lapuk.

Lesung yang sudah rusak itu dibuang tidak jauh dari pekarangan rumahnya, hanya diletakkan di bawah rumahnya, di bagian belakang dekat dapur.

Lama-kelamaan, setelah beberapa hari diperhatikannya, ternyata lesung itu semakin naik dari permukaan tanah, sedikit demi sedikit semakin tinggi. Encik Walek terheran-heran dibuatnya.

“Tampaknya ada yang aneh. Apa yang mengangkat lesung rusak ini?” Encik Walek pun penasaran dan mencari tahu apa yang ada di lesung itu, yang membuat lesung itu semakin terangkat.

Kemudian, dibaliknya lesung rusak itu. Ternyata di bawah lesung rusak itu tumbuh cendawan atau jamur.

“Ini ‘kan cendawan. Cepat juga cendawan ini tumbuh di sini, tetapi apakah mungkin cendawan ini yang mengangkat lesung itu, ya? Lesung itu ‘kan cukup berat, sedangkan cendawan itu lemah dan lembut,” kata Encik Walek.

Cukup lama Encik Walek memperhatikan cendawan-cendawan yang tumbuh di bawah lesung rusak itu.

Apabila diamati, cendawan itu bentuknya tidak jauh berbeda dengan cendawan yang biasa dipetiknya.

Maklum, Encik Walek sudah sering mengambil cendawan untuk dimasak sehingga dia tahu beda antara cendawan yang boleh dimakan dan yang beracun.

Biasanya, Encik Walek mencari cendawan di batang-batang kayu yang sudah lapuk dan lembab.

Namun, melihat sudah ada cendawan dekat di depannya, dia pun senang karena tidak perlu capek lagi mencari cendawan.

Lalu, dicabutnya cendawan itu untuk dimasak menjadi sayur nantinya.

Keesokan harinya, pada saat hari masih subuh, Encik Walek teringat kembali akan cendawan yang telah dipetiknya, yang bisa membuat lesung bekas yang cukup berat itu terangkat.

Dia berpikir jika cendawan itu cukup kuat untuk membuat lesung terangkat, mungkin cendawan itu juga akan memberikan efek kekuatan kepada orang yang memakannya.

Akhirnya, Encik Walek memutuskan untuk mencoba khasiat cendawan yang sudah dipetiknya itu.

Pagi itu juga dimasaknya cendawan tersebut untuk dijadikan sayur. Kemudian, segera dimakannya sayur cendawan itu.

Setelah memakan sayur cendawan itu, Encik Walek pun bergegas keluar rumah.

Dia segera menghampiri meriam di pekarangan rumahnya.

Encik Walek sempat ragu sejenak, tetapi dengan meneguhkan niat dan sambil membaca doa dia pun akhirnya mencoba mengangkat meriam itu.

“Bismillahirrahmanirrahim,” kata Encik Walek sambil mengangkat meriam itu dengan kedua tangannya. *** (Bersambung ke bagian 4)

Editor: Suci Annisa Caroline

Tags

Terkini

Terpopuler