Sejarah Kesenian Tari Ebeg dari Banyumas yang Jarang Diketahui Warga Ngapak

25 Februari 2023, 11:04 WIB
Ilustrasi sejarah seni tari Ebeg yang dari Banyumas, Jawa Tengah yang jarang diketahui. /YouTube/Gasol Video

RINGTIMES BALI - Ebeg adalah kesenian khas Jawa Tengah yang dapat ditemukan di Eks-Keresidenan Banyumas, meliputi Banyumas, Cilacap, Purbalingga, Banjarnegara, namun sangat jarang orang yang tahu sejarahnya.

Kesenian Ebeg dibawakan oleh delapan sampai dua belas penari yang membawa boneka kuda dari anyaman bambu, menggambarkan prajurit perang penunggang kuda yang gagah berani, serta diiringi musik dan lagu-lagu Banyumas yang dibawakan oleh pemain musik gamelan atau nayaga dan sinden.

Selain itu, ada satu atau dua penari Ebeg yang memakai topeng kayu yang disebut cepet, barongan yaitu semacam barongsai yang kepalanya terbuat dari kayu dan bagian badannya dari kain hitam.

Dimainkan oleh dua orang, serta penimbul yang bertugas memanggil dan mengeluarkan kembali roh dari penari yang kesurupan.

Baca Juga: Keren dan Canggih Banget, 5 Film Ini Dibuat Pakai Smartphone Doang

Dilansir dari kanal YouTube Wihans Indonesia, kesenian tari Ebeg yang juga dikenal dengan kuda kepang atau kuda lumping ini sudah ada sejak zaman kerajaan Hindu di Indonesia, dan merupakan kesenian asli dari Daerah Banyumas.

Hal ini terbukti dengan lagu-lagu yang mengiringi seluruhnya dalam Bahasa Jawa Banyumas atau Bahasa ngapak.

Kesenian Ebeg lahir pada masa kekuasaan Raja Sri Aji Wurawari, Penguasa Lwaram, kerajaan kecil yang berada di daerah Banyumas yang juga masih merupakan bawahan Kerajaan Mataram Kuno. 

Tarian Ebeg muncul pertama kali pada Tahun 1010 Masehi sebagai bentuk perayaan kemenangan penyerangan Pralaya Medang.

Baca Juga: Pemerintah Dubai Hadiahkan Emas bagi Warga yang Berhasil Turunkan Berat Badan

Yaitu penyerangan kerajaan Lwaram yang bersekutu dengan Kerajaan Sriwijaya terhadap Mataram Kuno pada Tahun 991-992 M yang pada saat itu dipimpin oleh Raja Dharmawangsa.

Beberapa tahun kemudian, menantu Raja Dharmawangsa yaitu Airlangga membalas penyerangan yang pernah dilakukan Raja Wurawari dan menewaskan penguasa Lwaram tersebut.

Setelah meninggalnya Raja Wurawari, kesenian tari ini masih terus ada dan pada saat itu mulai melibatkan makhluk dari dimensi lain yang biasa disebut indang atau pamong, atau pengasuh.

Sehingga penari Ebeg menari dalam kondisi kesurupan yang dalam Bahasa Jawa Banyumasan disebut wuru atau mendem.

Baca Juga: Terlihat Serupa Tapi Tak Sama, Ini Perbedaan Indomaret dan Alfamart

Makna dari sesi kesurupan dalam kesenian ebeg yaitu memanggil roh Raja Wurawari dan para prajurit yang gugur dalam peperangan serta untuk mengenang kejayaan dan kemenangan Raja Wurawari ketika mengalahkan Raja Dharmawangsa.

Saat ini pementasan Ebeg menjadi hiburan dalam acara syukuran, hajatan, peringatan tahun baru dan lain sebagainya yang sampai sekarang masih digemari oleh kalangan muda sampai lanjut usia.***

Editor: Jero Kadek Wahyu Baratha

Tags

Terkini

Terpopuler